856- Tenaga Asing

Seringkali saya berhadapan dengan para mahasiswa cerdas dan kritis. Biasanya kalau selesai mengunjungi salah satu kantor saya yang dulu maka dalam acara santai selalu ada ruang tanya jawab. "Mengapa masih menggunakan tenaga asing, apa bangsa dewek masih kurang pandai?."

Daripada mencari jawab mbulet alias melingkar macam anjing menggigit buntut sendiri, saya mengambil contoh henfon. Pertama benda ini dekat dengan hidup manusia Indonesia. Komputer butut atau tidak punya komputer bukan masalah asalkan henfon harus paling mutakhir. Padahal harga henfon bagus bisa seharga laptop baru.

Ketika kita baru belajar menggunakan tut alat komunikasi tersebut, mengirim pesan pendek.
Apa mungkin kita mau naik rangking menjadi pencipta henfon. Lalu saya memeragakan tangan sejajar mulut (posisi kita belajar mencet tuts), dan orang asing sana dengan meninggikan tangan diatas kepala. Jujur saja, kapan mau menyusulnya kalau kita selama ini hanya mengunyah buku karangan mereka dan menjadi sales marketing produksinya.

Kalau bicara soal tenaga kerja asing, terutama yang bekerja di bidang perminyakan Indonesia , perasaan saya menjadi melankolis, sentimental. Ujung-ujungnya tulisan menjadi nylekuthis van "matre"(kasihan deh Akiyu). Ditulis pakai "iy".

Betapa permainya para pekerja asing di Indonesia. Tidak terperikan. Mendapat perlindungan satpam selama 24 jam, rumah di kawasan elit seperti Menteng - Jakarta dengan AC guede sampai di ruang tamu, kendaraan dan pengemudi, pembantu yang selalu siap sedia. Ada blumbang (kolam) berair jernih. Dan tentunya liburan gratis ke manca negara.

Namun masa berganti ketika datang masalah saat perusahaan mulai keteteran memasuki awan gelap tebal "komulusnimbus" berupa masuknya pesaing baru yang lebih agresif seraya menawarkan harga menukik rendah tapi selamat (maunya).

Lantas muncul opsi mengatasi mendung finansial dengan mengadakan pemangkasan pekerja asing yang saat itu banyak dipekerjakan di perusahaan. Dengan kepergian mereka, diperlukan pengganti anak bangsa. Maka meluncurlah crash program sebab pengamatanku, orang Indo harus disurung-surung (dorong) dari lambung pesawat ragu-ragu sebelum berani mengembangkan payungnya. Hasilnya teman-teman menjadi pede menduduki kursinya. Terjadi penghematan yang significant kata orang keuangan.

Dasar kege'eran saya minta kecipratan hasil kerja. "Merasa sudah berbuat lebih dari permintaan pada perusahaan", merasa selama ini jadi cowboy tapi kalau ketemu musuh cuma modal plintheng atau katapel, nebeng kuda tetangga. Filosofinya, kalau soal meningkatkan kesejahteraan kita harus "fight"macam mbak Dita dari PRD. Rejeki bukan datang bak durian runtuh. Dengan segala resiko tentunya. Waktu itu saya minta inventaris kuda besi.

Hasilnya, bukan cipratan rizki, melainkan semprotan kegeraman dari para pimpinan. Saya malahan di jothak (tidak tegur sapa) oleh pimpinan jauh sebelum musimnya Ibu Megawati menjothak SBY atau Soekarno menjothak Bung Hatta. Berhubung masih kinyas kinyis (baru nian) bekerja, sempat juga stress dan sakit tipus sehingga di rawat di rumah sakit untuk pertama kalinya.

Akhirnya dengan terpaksa saya mengundurkan diri sebab tahu tidak akan ada pesangon sampai kapanpun. Padahal semula dalam hati sudah kewetu terucap janji untuk bekerja sampai pensiun. Tapi gara-gara dijothak dan diberi tekanan-tekanan lainnya, saya mokong membelot menclok ke perusahaan lain pada 1997 yang langsung memberi mobil, laptop dan handfon.

Di perusahaan yang baru, masih seabrek mempekerjakan bule, saya cuma celegukan (menelan ludah) jadi pembaca fax penawaran sewa apartemen di Kemang yang aduhai, rincian biaya puluhan juta untuk bermain golf tiap minggu di luar kota dan biaya hotel serta akomodasinya, sewa mobil dan supir serta sebreg fasilitas aduhai khusus pekerja asing. Entertemen di Bar dan Kafe yang berjuta-juta. Tetapi jangan tanya soal kenaikan gaji, alasannya berbelit sampai-sampai ada yang sudah tiga tahun tidak pernah mendapat kenaikan walau satu benggol-pun.

Di sebuah pulau yang masih milik Indonesia, crew asing kami yang berani angkat bendera inspektur Takur lantas mengulur pita merah ala "Police Line" menolak kedatangan bagi pekerja anak negeri dalam tim mereka. Alasannya permintaan pelanggan yang hanya ingin dilayani anak buah Sanjay, Thakur dan Rajiv. Herannya pelanggan kita juga lebih memilih diam.

Melihat semua ini saya memilih berdiri dipinggir lapangan, sekedar menjadi penonton kelas balkon.

Tapi menjadi penonton manis-manis tidak berarti selalu posisi aman. Para manajer asing tetap agresif menyerang saya dengan mengatakan "berpenghasilan terlalu mahal" untuk ukuran Indonesia, dan berkarya setipis silet bagi perusahaan, apalagi kadang sering membangkang. Seorang pejabat setara Wakil Presiden perusahaan seperti orang salah obat kalau melihat saya. Ada saja ide jeniusnya keluar untuk mengorek kesalahan dari pakai dasi sampai kasarnya ngupilpun tak luput dari koreksinya.

Sekali tempo perusahaan mengakusisi perusahaan lain. Sebuah kebanggaan pekerjanya. Lalu berita tersebut saya masukkan kedalam website perusahaan. Lagi-lagi aku teguran keras. Lancang, padahal berita mengakuisisi perusahaan lain, kesannya super duper gitu, kok mau disimpan-simpan beritanyapadahal sudah menjadi menjadi konsumsi publik perminyakan.

Kesempatan membalas datang saat ia dipindahkan ke negara lain. Lalu seperti biasa diadakan pesta antara orang kantor di sebuah kafe Jakarta Selatan.

Saya memilih pura-pura kerja lembur di kantor dan menolak hadir padahal jauh-jauh dia datang dari negeri OdeKolonye. Bule lainnya sudah bisik-bisik, "You are in deep shit" - ini bahasa kuli untuk "masalah besar."

Seperti sudah ditebak, tidak sampai setahun insiden tak berdarah, saya diminta pensiun dini.

Eh ternyata masih dijajah juga kita...

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung