861 - Karl May Dengan Rasa Sambal Tomat Belacan
Karl May Dengan Rasa Sambal Tomat Belacan
Selasa, 23-01-2007 08:08:51 oleh: Mimbar Bambang Saputro
Kanal: Gaya Hidup
Pengetahuan kita akan tentara Belanda atau Kumpeni biasanya terbatas bahwa orang Belanda harus serba wah. Makan harus pakai sendok garpu dan serbet. Maka ketika sebuah novel mampu bercerita tentara Eropa Benteng mampu melahap nasi tanak liwet dengan oseng-oseng dan sambal tomat belacan. Sampai sampai mereka berdecap "Kamu itu Lucullus," katanya memuji juru masak. Saya tidak terbendung ingin menghabiskan buku yang ditulis 285 halaman tersebut. Lucullus adalah jago masak dalam cerita Romawi.
Buku ini seperti hendak bercerita namanya tentara dimana-mana sama. Kalau bertemu kerusuhan harus maju terlebih dahulu, tetapi soal kesejahteraan berada diurutan paling bontot.
Empat serdadu VOC, dua berkebangsaan Swiss, satu Belgia dan satu anak Nias merasa mentok jadi prajurit, janji mendapatkan ribuan gulden ternyata cuma angin surga. Mereka lalu menyelinap keluar dari benteng Kuala Kapuas dan resmilah menjadi desersi yang selain diburu oleh bala tentara Belanda pimpinan Kolonel yang mengajak anak buah terdiri suku dayak yang kampiun dalam melacak jejak. Belum lagi bertemu dengan buaya, ular dan para pengayau kepala manusia di pedalaman Kalimantan. Dalam jerita yang ditulis 1870-an memang kental dengan adat istiadat dayak. Mulai dari bagaimana sumpit dirancang, ramuan yang terbaik untuk membuat bisa, memilih jenis mandau sehingga ketika memenggal kepala musuh, terkadang sang korban masih berjalan tanpa kepala, dan berusaha mengayunkan parangnya karena masih mengira berduel senjata. Bahkan kebiasaan kanibal menyeruput otak musuhnya, gamblang ditulis disini. Hal yang sudah lama disembunyikan dalam khasanah etnik kita.
Ada protes-protes terhadap tekanan kebijakan Belanda seperti ketika mereka menyelamatkan nyawa Harimau Bukit seorang kepala suku dayak, maka sebagai ganti pertukaran energi. Ditumbalkan seorang perempuan suku mereka sendiri. Sebagai orang Eropa, jelas cara ini tidak bisa dimengerti dan coba dicegah. Lalu Harimau Bukit menjadi berang "anda muka pucat bicara kemanusiaan di negeri ini atas seorang nyawa perempuan yang akan kami korbankan. Tapi anda lupa ribuan nyawa dikorbankan ketika pundi orang Belanda diutik-utik..." - Kepala dari desersi adalah Yohanes, pemuda Nias yang ahli strategi perang, jagoan berkelahi satu lawan satu, bahkan begitu liat badannya sampai tidak ragu terjun ke dalam air melawan buaya.
Penulisnya MTH Perelaer, dijuluki Snouk Hugronye spesialis Dayak, kelahiran Belanda yang semula bercita-cita hidup selibat menjadi pastur tetapi drop out dan nasib membawanya menjadi opsir Belanda. Pada 1855 ia sudah mengecap nyamuk dan lintah Kalimantan, dan terlibat dalam perang Banjarmasin 1859. Berpengalaman dalam memadamkan pemberontakan Aceh yang nggegirisi. Lalu pensiun dari Tentara Kerajaan pada 1879 dengan pangkat Mayor.
Membaca alur cerita dengan indah seperti Petualangan Karl May, tetapi rasa sambal belacan (terasi).
Desersi, Menembus Rimba Raya KalimantanKPG, 285 halaman.
Mimbar Bambang Saputro
Selasa, 23-01-2007 08:08:51 oleh: Mimbar Bambang Saputro
Kanal: Gaya Hidup
Pengetahuan kita akan tentara Belanda atau Kumpeni biasanya terbatas bahwa orang Belanda harus serba wah. Makan harus pakai sendok garpu dan serbet. Maka ketika sebuah novel mampu bercerita tentara Eropa Benteng mampu melahap nasi tanak liwet dengan oseng-oseng dan sambal tomat belacan. Sampai sampai mereka berdecap "Kamu itu Lucullus," katanya memuji juru masak. Saya tidak terbendung ingin menghabiskan buku yang ditulis 285 halaman tersebut. Lucullus adalah jago masak dalam cerita Romawi.
Buku ini seperti hendak bercerita namanya tentara dimana-mana sama. Kalau bertemu kerusuhan harus maju terlebih dahulu, tetapi soal kesejahteraan berada diurutan paling bontot.
Empat serdadu VOC, dua berkebangsaan Swiss, satu Belgia dan satu anak Nias merasa mentok jadi prajurit, janji mendapatkan ribuan gulden ternyata cuma angin surga. Mereka lalu menyelinap keluar dari benteng Kuala Kapuas dan resmilah menjadi desersi yang selain diburu oleh bala tentara Belanda pimpinan Kolonel yang mengajak anak buah terdiri suku dayak yang kampiun dalam melacak jejak. Belum lagi bertemu dengan buaya, ular dan para pengayau kepala manusia di pedalaman Kalimantan. Dalam jerita yang ditulis 1870-an memang kental dengan adat istiadat dayak. Mulai dari bagaimana sumpit dirancang, ramuan yang terbaik untuk membuat bisa, memilih jenis mandau sehingga ketika memenggal kepala musuh, terkadang sang korban masih berjalan tanpa kepala, dan berusaha mengayunkan parangnya karena masih mengira berduel senjata. Bahkan kebiasaan kanibal menyeruput otak musuhnya, gamblang ditulis disini. Hal yang sudah lama disembunyikan dalam khasanah etnik kita.
Ada protes-protes terhadap tekanan kebijakan Belanda seperti ketika mereka menyelamatkan nyawa Harimau Bukit seorang kepala suku dayak, maka sebagai ganti pertukaran energi. Ditumbalkan seorang perempuan suku mereka sendiri. Sebagai orang Eropa, jelas cara ini tidak bisa dimengerti dan coba dicegah. Lalu Harimau Bukit menjadi berang "anda muka pucat bicara kemanusiaan di negeri ini atas seorang nyawa perempuan yang akan kami korbankan. Tapi anda lupa ribuan nyawa dikorbankan ketika pundi orang Belanda diutik-utik..." - Kepala dari desersi adalah Yohanes, pemuda Nias yang ahli strategi perang, jagoan berkelahi satu lawan satu, bahkan begitu liat badannya sampai tidak ragu terjun ke dalam air melawan buaya.
Penulisnya MTH Perelaer, dijuluki Snouk Hugronye spesialis Dayak, kelahiran Belanda yang semula bercita-cita hidup selibat menjadi pastur tetapi drop out dan nasib membawanya menjadi opsir Belanda. Pada 1855 ia sudah mengecap nyamuk dan lintah Kalimantan, dan terlibat dalam perang Banjarmasin 1859. Berpengalaman dalam memadamkan pemberontakan Aceh yang nggegirisi. Lalu pensiun dari Tentara Kerajaan pada 1879 dengan pangkat Mayor.
Membaca alur cerita dengan indah seperti Petualangan Karl May, tetapi rasa sambal belacan (terasi).
Desersi, Menembus Rimba Raya KalimantanKPG, 285 halaman.
Mimbar Bambang Saputro
Comments