855 - Don njaj nde mbuk prom nde kover

Kalau orang Australia lebih suka pemeo "jangan menebak umur dari gigi kuda" - Pasalnya dipasaran semua buku ditulis dengan "best seller" sehingga kita tertarik membacanya, lalu kecewa abiz isinya "best teler (kacau)", kata Kelik Pelipur Lara.

Sebuah buku setebal 361 halaman sudah sepekan ini tidak tersentuh lantaran masih "diselimuti kekuatan gaib" membuat saya malas membukanya. Kekuatan gaib tersebut berupa sampul yang kurang menawan, cuma potret badan dari leher ke bawah. Ada tiga perempuan (setidaknya dari baju dan lengan serta jemari yang panjang melenting) duduk berdepetan disebuah bangku, mengapit seorang berpakaian lelaki berkaos dan bercelana mirip Bon Jovi Apa menceritakan cinta segi tak beraturan?.

Mestinya klise. Judul buku seperti terbuat dari sapuan kuas (pit) cina karena selalu dimulai dengan garis yang tipis lalu menebal di ujung. Saja menebak, jangan-jangan cerita ini berlatar belakang Cina kentara dengan judul Dimsum terakhir - sementara di kelompok orang perantauan makan Dimsum adalah sarapan pagi saat hari raya Imlek.

Repotnya beban mental dari buku ini adalah pinjaman sehingga pemiliknya yang ayu suatu saat akan menanyakan hasil resensi saya terhadap buku yang dipinjamkannya.

Lalu saya buka, halaman pertama ucapan terimakasihnya uantik (pakai u).

Pengarang menyitir Stephen King "menulis adalah perbuatan manusia, tetapi mengedit adalah pekerjaan dewa..." -elok tenan, bathin saya menjerit riang. Lho setelah dikebet(dibuka lembar per lembar), muncul lagi tulisan "saya menulis .. karena usia saya singkat tetapi banyak yang harus diucapkan. Saya menulis karena saya tidak abadi, sementara tulisanku immortal. saya menulis sebab saya tidak punya sayap. Sementara tulisan dapat terbang mengantar ke langit ketujuh."

Mau menjerit lebih keras nggak sih kalau sudah gini (kok aku jadi kenes? kayak pemain netron Ayahku Astuti)

Cerita ini sendiri, sama dengan persoalan kaum Cina yang saya kenal. Merasa diperlakukan tidak adil. Tapi pengarang melukiskan persoalannya dengan pelbagai dialog tanpa sarat protes. Dimulai dari "buk" mobil mereka diserempet oleh motor. Jelas pengendara yang salah. Tapi hukum di negeri ini, kalau mobil diserempet oleh sepeda motor yang sudah seperti laron usai hujan, terbang dikiri, di belakang, di depan tidak perduli kita sudah menyalakan lampu richting (sen) sambil mbaplang memberikan isyarat tangan mereka tetap tancap gas, sekali nabrak - apalagi ditabrak, galaknya bukan main, ujung-ujungnya pengendara mobil yang harus ganti rugi.

Hukum kedua apalagi anda Cina. Opsi lain tidak ada. Maka pengarang melalui lidah Rosi menulis, moncong mobil penyok, lampu pecah tapi "ya sudah salah siapapun bayar saja yang nabrak." - tetapi seorang kenek mobil yang tidak terlibat dalam tabrakan berteriak, "dasar Cina belagu, sok borjuis, pelit pula..masak kasih duit cuma segitu.."

Sekali waktu pengacara Yap Thiam Him diadili dan dihujat kiri kanan. Lalu Arif Budiman jago demo masalalu membelanya, menjadi cina di Indonesia adalah kesalahan terbesar, menjadi cina lalu berani mengeritik pemerintah adalah kesalahan terbesar kedua, menjadi cina, nasrani pula, adalah kesalahan nomor tiga. Maksudnya Yap adalah orang yang sangat luar biasa berani berenang kehulu saat perahu lain ke hilir.

Atau saat seorang anak dalam cerita ini sakit lumayan serius dan ingin absen dari sekolah. Apa sih susahnya, kecuali orang tua tinggal menulis surat pemberitahuan ke sekolah. Namun sekalipun kepala seperti ditindihi daging sapi gelontoran, mereka memaksakan mengikuti kelas dengan langkah setengah pingsan. Pasalnya besok adalah Hari Raya Imlek orang Cina. Sementara pemerintah melarang Imlek dirayakan plus sekolah diliburkan. Suster disekolahnya tidak ingin mencari persoalan dengan pemerintah. Siapa absen pada Hari Raya Imlek, apalagi berdarah Cina. Akan dikenai skorsing.

Sayang, pengarang tidak ingin menyuarakan rasa Superioritas kaum keturunan yang sejak jaman Belanda selalu menjadi warga kelas satu dan merasa demikian sehingga cenderung mengelompok. Pernah dengar ungkapan "dia orang Indo tapi caputaw(baik) seperti Cina..." Tapi kalau dipikir-pikir manusiawi. Lha orang suku lain seperti Jawa misalnya selalu merasa lebih halus tutur budi ketimbang suku lain. Demikian sebaliknya pandangan suku lain.

Bagi orang Cina, anak lelaki adalah dambaan yang akan meneruskan generasi mereka. Sayangnya keluarga Nung dalam cerita ini melahirkan anak empat kembar yang semuanya perempuan. Anung, sang ayah, pengusaha elektronik di Glodog, yang bangkrut lantaran tokonya dibakar pada kerusuhan Mei bahkan nyaris tewas dibakar massa, untung diselamatkan oleh seorang pribumi, sedikit kecewa dan menyoba protes mengapa tidak ada anak lelaki? - ternyata protesnya didengar. Salah satu anaknya yang tomboy doyan berkelahi jatuh cinta kepada sesama jenis, lalu memproklamirkan nama sang lelaki yang selalu tumbuh di alam bawah sadarnya, Roni sekaligus menjelaskan mengapa cover novel melukiskan "lelaki" diantara tiga perempuan.

Seperti layaknya pengarang perempuan, bumbu gesek-gesek kulit cinta nggak lazim tapi memang "mayan" banyak menghiasi novel wanita Leo kelahiran 1973 ini. Ada yang menjalin hubungan dengan pria yang sudah kadung janji hidup selibat. Bedanya dituturkan lumayan halus ketimbang penulis perempuan lain yang doyan ber "SMS" - sedetailnya mengenai selangkangan - kata Taufik Ismail.

Betul juga ungkapan Tukul Arwana, "don njaj nde mbuk prom nde kover." sambil menangkupkan jari dibibirnya, lalu ditarik kedepan memeragakan sebuah moncong. Dengan gaya mbagusi tentunya.

Mimbar Saputro


caputaw = lumayan
daging sapi gelontoran= sapi yang dicekoki air sebelum disembelih agar
mendapatkan berat lebih banyak.
mbaplang = melintang

Buku: Dimsum Terakhir
Pengarang: Clara Ng

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung