Menulis gara-gara diledek teman
Nama samarannya Tjiptoning. Pria sepuh berbaju batik dengan kacamata tebal dan rambut putih menghias kepalanya ini adalah penulis yang saya kagumi. Sekarang ia duduk didepan kami, para peserta seminar Pendidikan Pers Mahasiswa, disebuah gedung yang kini disulap menjadi hotel mewah di Yogyakarta.
Setiap jam enam pagi, saat koran lokal Kedaulatan Rakyat sudah diantar ke pelanggan masing-masing, maka pembaca pertama adalah ibu Kost, 70, dan selalu terkekeh sambil menggumam dalam bahasa Belanda. Ditangan kanannya Suryokonto - kaca pembesar ia ayun ayunkan kedepan seakan-akan hendak memukul gemas sang penulis.
Pemandangan bertahun tahun saya saksikan manakala ibu Atmo, induk semang saya, usai menyelesaikan kolom Tjiptoning. Saya sendiri menunggu serial SH Mintardja "Api di Bukit Menoreh." berdebar menunggu lanjutan pertarungan apakah Kiyai Gringsing memenangkan pertarungan dengan cambuknya yang nggegirisi - menakutkan.
"Siapa sih nama sebenarnya Tjiptoning ini, Bu?" - lalu beliau menyebut nama seorang Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat yaitu alm Bapak Wonohito.
Maka ketika bapak Wonohito selesai berbicara dan kesempatan tanya jawab digelar, saya seperti mendapat durian sultan runtuhan. Pertama kali maju dan menanyakan resep menulis agar menarik perhatian dan bisa dimengerti pembaca. Bapak Tjiptoning alias Wonohito yang berkopiah dan mengenakan baju batik, hanya menurunkan kacamatanya, lalu menjawab, "berikan kepada orang rumah, bisa ibu atau nenek, lalu tanyakan apakah beliau mengerti yang kita tulis."
Kalau mereka masih membetulkan letak kacamatanya, pertanda tulisan harus dirombak agar dapat dimengerti. Nasihat lain, jauhkan dari penggunaan kalimat asing, sebab kita tidak ingin menyiksa pembaca dengan menjejalkan istilah yang hanya bisa dimengerti oleh sekelompok masyarakat tertentu.
Pembicara lain dalam seminar yang menginspirasi saya adalah Ashadi Siregar. Nasihatnya sederhana, menjadi penulis perlu menyetel rasa peka agar lebih tajam daripada biasanya.
Tentu peserta seminar bertanya "caranya bagaimana?"
Kalian perhatikan saja di koran, manakala ada orang putus cinta, patah hati. Kebanyakan orang akan memberikan nasihat "cari yang pengganti yang lain dunia tak selebar daun kelor...." - padahal kata-kata ini penyakit kronis. Anda akan mati rasa dengan penderitaan orang lain.
Seorang penulis, akan terhanyut emosi bersama perasaan sang patah hatiawan atau patah hatiwati sebab dari situlah digali sebuah karakter atau bahan untuk membuat artikel. Itulah sebabnya kebusukan masyarakat umumnya dibongkar oleh wartawan karena mereka memiliki sensitivitas yang tajam dan terlatih.
Maka, pulang dari seminar, rasanya saya sudah siap menulis. Mesin ketik portable Brother dengan pita dwiwarna hitam dan merah sudah saya pegang berjam-jam. Tapi ternyata tak sepotong hurup muncul untuk sebuah artikel. Menulis masih terlalu sukar bagi saya, akhirnya hasil seminar berlalu begitu saja terlupakan.
Sampai datang seorang teman, dia meledek, percuma buang waktu menghadiri seminar kalau tidak pernah menghasilkan tulisan. Bisanya kok menulis untuk Suara Pembaca.
Saya biarkan teman ini menyerocos. Lalu kami berdiri makan angin didepan rumah kos-kosan yang terletak di jalan Dr. Sutomo, Yogyakarta. Tiba-tiba "sreeng" melintaslah teman-teman dari kos-kosan putri dengan menggunakan motor bebek. Selesai "uluk salam" - alias ber hai-hai - saya merasakan sesuatu yang mengganjal.
Indri, Titik, Tatik, Ninuk dan teman-teman tadi keluar asrama dengan menggunakan daster, sandal jepit dan gulungan rol rambut dikepalanya.
Bujug Buneng .. apa-apaan ini maka merucutlah gagasan menulis mengenai etika berpakaian. Mengenakan rol rambut, memborehi cream di wajah, adalah sarana mempercantik diri, namun kalau mejeng dijalan dengan pakaian dan cara dandan seadanya, lalu bagaimana akan dibilang cantik?
Tulisan itu saya ketik, bahkan ketika sohibah saya yang crigis (cerewet) datang, naskah disembunyikan dari pandangannya.
Pokoknya sedang menulis artikel untuk koran. Padahal dalam hati ragu naskah diterima redaksi. Maklum para penulis di Yogya kalau pakai gelar kesarjanaan berlapis-lapis, bisa memenuhi garis pinggir kartu nama dari margin kiri sampai margin kanan. Ditambah konon untuk laik muat di koran, diperlukan usaha berulang ulang.
Ada dua hari saya mengebut menyelesaikan naskah sampai tengah malam. Pembantu sempat komplin dipagi hari karena suara mesin ketik sampai jauh malam. Naskah saya masukkan kedalam amplop dan saya serahkan sendiri ke redaksi Kedaulatan Rakyat.
Ternyata seminggu kemudian, artikel tersebut dimuat di edisi Minggu Pagi, dengan judul dan beberapa kalimat diperbaiki sana sini. Suenangnya(e) luar biasa. Maka orang pertama saya traktir makan honor menulis, ngiras jajan Bakso Tahu Plempung di jalan Solo adalah sang pengkritik sekalipun menulis surat buat kekasihnyapun ia minta tolong.
Sementara Indri dan gengnya tidak tahu siapa jati diri penulis sebab saya menggunakan nama samaran "Mimin."
Setiap jam enam pagi, saat koran lokal Kedaulatan Rakyat sudah diantar ke pelanggan masing-masing, maka pembaca pertama adalah ibu Kost, 70, dan selalu terkekeh sambil menggumam dalam bahasa Belanda. Ditangan kanannya Suryokonto - kaca pembesar ia ayun ayunkan kedepan seakan-akan hendak memukul gemas sang penulis.
Pemandangan bertahun tahun saya saksikan manakala ibu Atmo, induk semang saya, usai menyelesaikan kolom Tjiptoning. Saya sendiri menunggu serial SH Mintardja "Api di Bukit Menoreh." berdebar menunggu lanjutan pertarungan apakah Kiyai Gringsing memenangkan pertarungan dengan cambuknya yang nggegirisi - menakutkan.
"Siapa sih nama sebenarnya Tjiptoning ini, Bu?" - lalu beliau menyebut nama seorang Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat yaitu alm Bapak Wonohito.
Maka ketika bapak Wonohito selesai berbicara dan kesempatan tanya jawab digelar, saya seperti mendapat durian sultan runtuhan. Pertama kali maju dan menanyakan resep menulis agar menarik perhatian dan bisa dimengerti pembaca. Bapak Tjiptoning alias Wonohito yang berkopiah dan mengenakan baju batik, hanya menurunkan kacamatanya, lalu menjawab, "berikan kepada orang rumah, bisa ibu atau nenek, lalu tanyakan apakah beliau mengerti yang kita tulis."
Kalau mereka masih membetulkan letak kacamatanya, pertanda tulisan harus dirombak agar dapat dimengerti. Nasihat lain, jauhkan dari penggunaan kalimat asing, sebab kita tidak ingin menyiksa pembaca dengan menjejalkan istilah yang hanya bisa dimengerti oleh sekelompok masyarakat tertentu.
Pembicara lain dalam seminar yang menginspirasi saya adalah Ashadi Siregar. Nasihatnya sederhana, menjadi penulis perlu menyetel rasa peka agar lebih tajam daripada biasanya.
Tentu peserta seminar bertanya "caranya bagaimana?"
Kalian perhatikan saja di koran, manakala ada orang putus cinta, patah hati. Kebanyakan orang akan memberikan nasihat "cari yang pengganti yang lain dunia tak selebar daun kelor...." - padahal kata-kata ini penyakit kronis. Anda akan mati rasa dengan penderitaan orang lain.
Seorang penulis, akan terhanyut emosi bersama perasaan sang patah hatiawan atau patah hatiwati sebab dari situlah digali sebuah karakter atau bahan untuk membuat artikel. Itulah sebabnya kebusukan masyarakat umumnya dibongkar oleh wartawan karena mereka memiliki sensitivitas yang tajam dan terlatih.
Maka, pulang dari seminar, rasanya saya sudah siap menulis. Mesin ketik portable Brother dengan pita dwiwarna hitam dan merah sudah saya pegang berjam-jam. Tapi ternyata tak sepotong hurup muncul untuk sebuah artikel. Menulis masih terlalu sukar bagi saya, akhirnya hasil seminar berlalu begitu saja terlupakan.
Sampai datang seorang teman, dia meledek, percuma buang waktu menghadiri seminar kalau tidak pernah menghasilkan tulisan. Bisanya kok menulis untuk Suara Pembaca.
Saya biarkan teman ini menyerocos. Lalu kami berdiri makan angin didepan rumah kos-kosan yang terletak di jalan Dr. Sutomo, Yogyakarta. Tiba-tiba "sreeng" melintaslah teman-teman dari kos-kosan putri dengan menggunakan motor bebek. Selesai "uluk salam" - alias ber hai-hai - saya merasakan sesuatu yang mengganjal.
Indri, Titik, Tatik, Ninuk dan teman-teman tadi keluar asrama dengan menggunakan daster, sandal jepit dan gulungan rol rambut dikepalanya.
Bujug Buneng .. apa-apaan ini maka merucutlah gagasan menulis mengenai etika berpakaian. Mengenakan rol rambut, memborehi cream di wajah, adalah sarana mempercantik diri, namun kalau mejeng dijalan dengan pakaian dan cara dandan seadanya, lalu bagaimana akan dibilang cantik?
Tulisan itu saya ketik, bahkan ketika sohibah saya yang crigis (cerewet) datang, naskah disembunyikan dari pandangannya.
Pokoknya sedang menulis artikel untuk koran. Padahal dalam hati ragu naskah diterima redaksi. Maklum para penulis di Yogya kalau pakai gelar kesarjanaan berlapis-lapis, bisa memenuhi garis pinggir kartu nama dari margin kiri sampai margin kanan. Ditambah konon untuk laik muat di koran, diperlukan usaha berulang ulang.
Ada dua hari saya mengebut menyelesaikan naskah sampai tengah malam. Pembantu sempat komplin dipagi hari karena suara mesin ketik sampai jauh malam. Naskah saya masukkan kedalam amplop dan saya serahkan sendiri ke redaksi Kedaulatan Rakyat.
Ternyata seminggu kemudian, artikel tersebut dimuat di edisi Minggu Pagi, dengan judul dan beberapa kalimat diperbaiki sana sini. Suenangnya(e) luar biasa. Maka orang pertama saya traktir makan honor menulis, ngiras jajan Bakso Tahu Plempung di jalan Solo adalah sang pengkritik sekalipun menulis surat buat kekasihnyapun ia minta tolong.
Sementara Indri dan gengnya tidak tahu siapa jati diri penulis sebab saya menggunakan nama samaran "Mimin."
Comments