Buku Harian (bekas) Peternak Gurami - Mendadak Dukun

Saya tengok arloji mengarah pada jam dua jam sebelum tengah malam. Seharian penuh saya mengontrol kolam gurami, tak terasa hari sudah malam. Kulit leher dan bahu mulai merasakan sengatan matahari yang semula tak diindahkan. Hasil kebun Citayam berupa Daun singkong, daun pepaya muda, singkong sudah dimuat kedalam kendaraan untuk oleh-oleh tetangga di rumah Grogol. Kalau tidak ingat besok harus ke kantor rasanya berat untuk melepas dingin malam, suara air yang saling memecah, terkadang kecipak air yang ditimbulkan ikan Gurami yang berkejar-kejaran.

Namun diantara gelapnya malam, sesosok tubuh tinggi kurus nampak mendekati kami. Rupanya bang Manaf seorang pekerja serabutan mengabarkan bahwa adik iparnya mengamuk sampai harus diikat. Rupanya sang adik sudah lama menderita sakit, lantaran kehabisan uang dan si sakit tak kunjung sembuh, ia dijemput balik oleh keluarganya dan bermaksud diterapi oleh orang pintar. Sampai di rumah ia malahan mengamuk sehingga menghebohkan se RT-RW Citayam. Sepertinya sudah tidak ada harapan hidup, kata bang Manaf. Ada pengapuran di kaki dan beberapa penyakit komplikasi. Lho bang Manaf, sekedar pengapuran kenapa harus pasrah.

Boleh jadi lantaran iba melihat mimik muka Bang Manaf yang sudah jauh datang dari desa SasakPanjang, saya sempatkan untuk membesuknya (sambil bawa uang sekadarnya). Kendaraan sampai terseok-seok menerobos jalan merah menuju rumahnya. Jleg, sampai disana, saya melihat banyak warga duduk diluar rumah. Pemandangan ini tepatnya terjadi kalau ada seseorang mendekati akhir hayatnya.

Begitu turun dari mobil, tiba-tiba kumpulan orang yang berkumpul seperti memecah dan menepi memberi jalan bagi saya dan Jreng .... hanya berlapiskan kasur diatas papan, tergeletak seorang wanita, separuh baya mungkin saya salah taksir usia sebab wanita desa sering berwajah boros ketimbang usia sebenarnya dengan rambut awut-awutan dan tangannya di cencang. Mukanya, tangannya barut penuh luka cakaran. Disekelilingnya para kerabat ada yang mengaji, sementara bau kemenyan tercium samar-samar.

Tolong diobati istri saya ini pak (h) Aji, dia ngamuk terus, udah dipanggilin dukun kemana-mana, belon baek juga,” kata seseorang yang mengaku sang suami. Belakangan saya dengar, kalau mereka tidak salah hitung sudah hampir sepuluh tabib alternatif didatangkan.

Lho saya bukan dokter pak,” kata saya mulai kecut sebab pertama saya bukan haji, kedua saya sekedar kuli minyak. Sempat menyesali diri, mengapa tanpa banyak pertimbangan menuju tempat ini.

Ya pegimana aja lah, didoakan gitu..” kata suaminya lagi. Mau tidak mau saya harus mengelus dagu. Nampaknya tidak ada jalan mundur..

Akhirnya saya berjongkok dan bersila, tentu menjadi pemandangan aneh seseorang pakai T-Shirt, bercelana jin, bersila sambil mengelus tangan dan kepala sang pasien yang nampaknya tertidur. Lalu saya minta tangan dilepas dari ikatan (saya tidak tahu mengapa berbuat begini), kepalanya saya elus sambil tentunya berdoa untuk kesembuhannya.

Perlahan dia membuka matanya, beberapa lelaki berloncatan mendekati sang pasien berjaga-jaga kalau dia mengamuk. Ada yang menyatukan telunjuk dan jari tengahnya lalu menorehkan tulisan ke telapak kaki si sakit. Saya sendiri sudah pasrah kalau dia mengamuk atau menerkam saya. Cuma mungkin karena kecapekan, mak Imah hanya melihat kearah saya lalu menunduk kepada tangan saya, pandangannya memang nanar, tak lama kemudian ia membalikkan badannya, tertidur miring membelakangi saya.

Lalu kaki yang katanya keropos tulang saya uap dan tak hentinya berdoa. Saya sudah lupa kalau saat itu menjadi pusat perhatian puluhan orang sekampung. Untungnya saya pernah melihat pengobatan alternatif dengan memberikan air “berjampi” kepada pasien. Juga pernah dua kali pertemuan mengikuti meditasi ala Reiki sekalipun tidak pernah berlatih.

Kata orang pasien mengamuk begini gelombang magnetisnya berganti arah bolak balik. Kalau anda meletakkan tangan sekitar 5 cm diatas kulit, kadang-kadang terasa ada hawa yang mendorong tangan. Konon ahli chikung mendeteksi ada “gangguan energi” di kawasan tersebut.

Tapi saya sekedar ahli meniru.

Eng ing eng…

Saya minta air kemasan, permintaan agak aneh untuk keluarga sederhana begini sehingga bekal air kemasan yang selalu tersedia di mobil diturunkan. Selama di kebun perut saya sering “belagu” mules saat minum air setempat sehingga terpaksa membekal air kemasan. Saat berkonsentrasi memohon kesembuhan melalui media air tadi saya sempat terganggu ada suara “waduh si Manaf bawa dukun dari kota, berapa bayarnya yah. Pasti mahal

Roman-romannya bule, kali yah, dukunnya.," Nah yang berkomentar ini mungkin calon pasien katarak.

Sepertinya ada setengah jam lebih saya bersila disekitar sisakit. Kaki mulai terasa kesemutan. Apalagi pasien kelihatan tenang. Waktunya untuk berpamitan. Tapi sang suami berkeras agar saya duduk disampingnya “ngopi-ngopi dulu napa?,” akhirnya saya penuhi permintaannya namun menolak kopi karena saya sudah minum ramuan hitam pekat itu selama berada di kebun.

Sang suami lalu mengucapkan terimakasih namun tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada saya. Lalu saya hanya tersenyum sampil menepuk bahunya, “jangan perdulikan soal itu pak, yang penting istri bisa waras.”

Eh dia menyambung lugu. “Saya punya anak laki sekolah kagak mau, tani kagak bisa, bawa saja biar kerja di Pertamina, jadi apa juga kagak napa-napa, pokok kerja.” – Coba, siapa membuat isu saya bekerja di Pertamina. Bagi mereka kalau ada kata minyak berarti Pertamina.

Ada setengah tahun saya tidak mendengar berita tersebut. Sampai ketika bersua, Gendok, anak bang Manap yang menyebutkan, “pasien” sudah sembuh, kemarin ia melihatnya memetik daun singkong , jalannya sekarang semper (pincang).

Mungkin doa para tabib alternatif, keluarga, bersama doa saya kali ini dikabulkan.
Terimakasih Tuhan.


Mimbar Bambang Saputro
mimbar [dot] saputro [at] gmail [dot]com
+62 811806549 - TEXT PLEASE

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung