Terpaksa Hampir Malam di Bali
Yang membuat hati mongkok (menggelembung) ketika pesawat dari Perth bersiap mendarat ke Bali, adalah wajah para turis Australia semangkin (ng) cerah, Bali..Bali, Indonesia kata mereka. Saya membayangkan mereka pulang membawa kenang-kenangan kaos Bir Bintang. Ketika mereka sibuk menurunkan papan selancar dari tempat pengambilan bagasi, saya ngelonyor ke loket keberangkatan dalam negeri. Maklum masih menggembol tiket cadangan ke Jakarta.
Melihat panjangnya daftar penumpang cadangan GA 727, Denpassar - Jakarta. Harapan saya seperti melaporkan kehilangan HP ke kantor polisi. Kemungkinan berhasil keangkut cuma tersisa setipis pisau cukur. Untunglah petugas menerbitkan harapan "bapak sendirian?, tidak bawa bagasi?"
Kontan saya jawab "Yes", mau rasanya menyodokkan siku saya kebawah seperti yang diperlihatkan di filem olah raga. Paling korban sebuah pemotong kuku dibuang agar tidak mengalami hambatan di pemeriksaan barang kabin nantinya. Biar lebih "yes" lebih menggigit, saya keluarkan kartu Frequent Flyer.
Tapi peraturan yang berlaku, harus menunggu setengah jam sebelum waktu terbang tiba. Padahal itu berarti masih dua jam lagi.
Maka sasaran saya pertama adalah Kedai, nama sebuah restoran Indonesia dengan logo mirip rumah makan Padang Simpang Ampat.
Saya memesan Soto Betawi yang dihidangkan dengan piring melamin kotak, mirip gaya kedai masakan Jepang. Ruangan ber AC, dipenuhi para anak-anak muda dan orang tidak muda yang memiliki kesamaan yaitu Merdeka untuk Merokok ditempat tertutup. Merdeka untuk tidak perduli banyak anak-anak kecil dalam ruangan tersebut. Uhuk, saya terbatuk batuk [habis esmosi (s)]
Rasa masakan biasa-biasa saja. Wes Pokoke, Caputauw - lumayan, apalagi perut memang sudah lapar lagi. Lalu didepan saya ada loket penjual es. Saya pesan es Kacang Merah, rasanya lebih kacau beliung sebab kacang merah bantat yang terhidang.
Waktu mulai dipangkas dengan duduk manis membaca novel Messiah sampai selesai. Lalu saya tarik majalah. Ada artikel Kelapa Bakar membuat "greng", sayang saya sudah kehilangan "krentek" untuk membacanya sebab ditengah semilir angin pantai dan seliwerannya para pelancong di Denpassar, saya sempat tertidur di kursi dan terbangun saat mencium harumnya kapucino. Lalu disebuah kafe, saya memesan minuman ini, yang dilayani oleh seorang mbak yang entah kenapa kalau berbicara desibel suara "cempreng" yang dihasilkan selalu mengingatkan pemain sinetron perempuan pesolek di Office Boy atau si kembar dalam Cinderella.
Tigapuluh menit menjelang keberangkatan pesawat saya temui petugas, bahu langsung terkulai dan kepala tertunduk, tempat penuh pak. Lalu saya mengotak atik maksud pertanyaan petugas " bapak sendirian, tidak bawa bagasi," mungkin maksudnya, ngapain eluh buru-buru pulang ke Jakarta. Sial bener.
Dan ini liburan panjang sehingga praktis penginapan papan atas, tengah, bawah di Bali ini penuh semua. Lalu saya lancarkan, rencana "B" - namun keponakan yang saya hubungi hanya menjawab "maaf pakde saya sedang jadi kumendan (u) pedang pora teman menikah, baru bebas jam 8 malam nanti."
Terpaksa menunggu Hampir Malam di Bali...
Melihat panjangnya daftar penumpang cadangan GA 727, Denpassar - Jakarta. Harapan saya seperti melaporkan kehilangan HP ke kantor polisi. Kemungkinan berhasil keangkut cuma tersisa setipis pisau cukur. Untunglah petugas menerbitkan harapan "bapak sendirian?, tidak bawa bagasi?"
Kontan saya jawab "Yes", mau rasanya menyodokkan siku saya kebawah seperti yang diperlihatkan di filem olah raga. Paling korban sebuah pemotong kuku dibuang agar tidak mengalami hambatan di pemeriksaan barang kabin nantinya. Biar lebih "yes" lebih menggigit, saya keluarkan kartu Frequent Flyer.
Tapi peraturan yang berlaku, harus menunggu setengah jam sebelum waktu terbang tiba. Padahal itu berarti masih dua jam lagi.
Maka sasaran saya pertama adalah Kedai, nama sebuah restoran Indonesia dengan logo mirip rumah makan Padang Simpang Ampat.
Saya memesan Soto Betawi yang dihidangkan dengan piring melamin kotak, mirip gaya kedai masakan Jepang. Ruangan ber AC, dipenuhi para anak-anak muda dan orang tidak muda yang memiliki kesamaan yaitu Merdeka untuk Merokok ditempat tertutup. Merdeka untuk tidak perduli banyak anak-anak kecil dalam ruangan tersebut. Uhuk, saya terbatuk batuk [habis esmosi (s)]
Rasa masakan biasa-biasa saja. Wes Pokoke, Caputauw - lumayan, apalagi perut memang sudah lapar lagi. Lalu didepan saya ada loket penjual es. Saya pesan es Kacang Merah, rasanya lebih kacau beliung sebab kacang merah bantat yang terhidang.
Waktu mulai dipangkas dengan duduk manis membaca novel Messiah sampai selesai. Lalu saya tarik majalah. Ada artikel Kelapa Bakar membuat "greng", sayang saya sudah kehilangan "krentek" untuk membacanya sebab ditengah semilir angin pantai dan seliwerannya para pelancong di Denpassar, saya sempat tertidur di kursi dan terbangun saat mencium harumnya kapucino. Lalu disebuah kafe, saya memesan minuman ini, yang dilayani oleh seorang mbak yang entah kenapa kalau berbicara desibel suara "cempreng" yang dihasilkan selalu mengingatkan pemain sinetron perempuan pesolek di Office Boy atau si kembar dalam Cinderella.
Tigapuluh menit menjelang keberangkatan pesawat saya temui petugas, bahu langsung terkulai dan kepala tertunduk, tempat penuh pak. Lalu saya mengotak atik maksud pertanyaan petugas " bapak sendirian, tidak bawa bagasi," mungkin maksudnya, ngapain eluh buru-buru pulang ke Jakarta. Sial bener.
Dan ini liburan panjang sehingga praktis penginapan papan atas, tengah, bawah di Bali ini penuh semua. Lalu saya lancarkan, rencana "B" - namun keponakan yang saya hubungi hanya menjawab "maaf pakde saya sedang jadi kumendan (u) pedang pora teman menikah, baru bebas jam 8 malam nanti."
Terpaksa menunggu Hampir Malam di Bali...
Comments