Mengaku Dosa di Kereta Senja Utama
Masa sekolah dulu saya menggunakan kereta Senja Utama Jakarta-Yogya, dari stasiun Gambir yang masih belum semegah sekarang. Entah apa yang dimaksud Utama di sini, mungkin utama dalam berdesakan, atau utama dalam memberikan pelayanan extra terhadap penumpang. Janjinya berangkat jam 6 senja, diberi extra menjadi jam 21 malam.
Sekalipun demikian untuk generasi yang masih mengalami naik sepur "kluthuk" dari Yogya, Magelang, Ambarawa, Semarang dengan bonus abu arang batu melekat di baju, kadang berlubang kecipratan lelatu hasil pembakaran mesin ketel uap yang terbang bersama angin. Maka pantas saja kereta bermesin diesel diberi julukan Utama.
Duduk didepan saya seorang bapak sudah berusia di atas lima puluhan, lalu membawa seorang ibu muda berkulit terang, dan anak bayi berusia dalam bulanan sehingga masih menetek ibunya.
Karena kereta jengglang-jenggleng mendadak berhenti menunggu "pruisan" dengan kereta lebih mewah lainnya (dulu BIMA), atau ada kereta lain yang langsir dari Dipo, maka udara yang mengalir melalui jendela kereta sudah tidak mampu mengatasi pengapnya kereta. Apalagi sebagian kipas angin sudah tidak berfungsi. Terang saja si kecil mulai gelisah kepanasan dan si ibu mengeluarkan desis seperti angin menepis dedaunan bambu di pedesaan. Shh shhh. Sambil menggoyangkan bayinya agar merasa lebih nyaman. Tapi bayi tak kunjung diam sementara sang kakek bayi ini seperti mati langkah untuk menentramkan si kecil. Paling ia mencoba mengipasi sang bayi yang itupun hanya dilakukan dalam jumlah kurang dari kedua jari tangan sang bapak sudah mulai bosan. Lalu ia membuka koran pagi dan asyik membaca.
Kalau sudah begini, tangan si ibu mulai kelayapan masuk dibalik bajunya sambil membetot sesuatu lalu "clep" dimasukkan kedalam mulut anaknya. Mohon maaf anda tidak mungkin terus-terusan membuang muka memandang ke jendela. Bisa tenggen kram batang leher.
Akibatnya padangan mendadak tertaut ke mulut bayi. Maksud saya yang masuk ke mulut bayi. Sebagai info, tahun 1970-an saya misih Narayana dibawah 20-an. Belum gundul lagi.
Memasuki jam 3 dini hari kereta mulai berjalan cukup lancar. Sehingga suara getaran kereta menapak di sambungan rel mulai menghipnotis sebagian penumpang, bunyi glek glek yang oleh Pakde saya diterjemahkan sebagai "ojo jajan ojo jajan" kalau saya merengek minta es lilin dalam termos atau segelas es Camcau (cincau). Kadang kalau jalan agak membelok, kereta seperti "siut" bergoyang pinggul, sementara ketika melalui jembatan suaranya lebih gemuruh menderu akibat ledakan udara yang ditimbulkan antara kereta dengan pagar jembatan. Sesekali terdengar "Semboyan 35" yaitu isyarat suling kereta agar tuas sinyal diangkat pada beberapa ruas pintu pemberhentian kereta.
Si bapak, anak, bayi tertidur sambil disusui ibunya.
Pas saya mendusin, kepala bayi sudah melorot dari pelukan ibunya dan akhirnya "lha rak tenan" betul saja, bayi meluncur dari dekapan, melewati pangkuan dan hap saya reflek menangkap bayi tersebut. Ibu ayu yang saya taksir usianya baru lulus SMP-an masih pulas, seperti bayinya, ia pun tidak terbangun. Bahkan merasa bebannya lepas ia malahan meluruskan tubuhnya menghadapkan mukanya ke arah dinding kereta. Tak tega saya melihat ibu yang nampak kecapekan lalu bayi saya gendong.
Tapi eiit nanti dulu....!
Kalau saya boleh mengaku dosa, sebetulnya saya sedang terkesima sihir melihat pabrik makanan cair alami yang tetap mengucurkan produksinya dengan deras sampai menimbulkan basah di pakaian. Mohon seribu maaf kita bercerita moral mahasiswa dengan segala alat reproduksi sedang "sedeng sedengnya" sehingga kesan sesaat tetap menimbulkan reaksi dahsyat.
Keadaan tidak berlangsung lama. Tiba-tiba ibu terbangun geragapan dan bayi saya serahkan kembali. Di Jatinegara kita kan berpisah, kata Ismail Marjuki. Di Kebumen keluarga ini turun.
Sebelum berpisah sang bapak yang mengatakan saya seperti "orang Bali, karena baik" sekali lagi mengucapkan terimakasih dan bersyukur bayinya tidak sampai mencium lantai kereta.
Dalam hati saya, "disitu" bersyukur, keringat dingin saya mengucur.
Mimbar Bambang Saputro
mimbar [dot] saputro [at] gmail [dot]com
+62 811806549 - TEXT PLEASE
Sekalipun demikian untuk generasi yang masih mengalami naik sepur "kluthuk" dari Yogya, Magelang, Ambarawa, Semarang dengan bonus abu arang batu melekat di baju, kadang berlubang kecipratan lelatu hasil pembakaran mesin ketel uap yang terbang bersama angin. Maka pantas saja kereta bermesin diesel diberi julukan Utama.
Duduk didepan saya seorang bapak sudah berusia di atas lima puluhan, lalu membawa seorang ibu muda berkulit terang, dan anak bayi berusia dalam bulanan sehingga masih menetek ibunya.
Karena kereta jengglang-jenggleng mendadak berhenti menunggu "pruisan" dengan kereta lebih mewah lainnya (dulu BIMA), atau ada kereta lain yang langsir dari Dipo, maka udara yang mengalir melalui jendela kereta sudah tidak mampu mengatasi pengapnya kereta. Apalagi sebagian kipas angin sudah tidak berfungsi. Terang saja si kecil mulai gelisah kepanasan dan si ibu mengeluarkan desis seperti angin menepis dedaunan bambu di pedesaan. Shh shhh. Sambil menggoyangkan bayinya agar merasa lebih nyaman. Tapi bayi tak kunjung diam sementara sang kakek bayi ini seperti mati langkah untuk menentramkan si kecil. Paling ia mencoba mengipasi sang bayi yang itupun hanya dilakukan dalam jumlah kurang dari kedua jari tangan sang bapak sudah mulai bosan. Lalu ia membuka koran pagi dan asyik membaca.
Kalau sudah begini, tangan si ibu mulai kelayapan masuk dibalik bajunya sambil membetot sesuatu lalu "clep" dimasukkan kedalam mulut anaknya. Mohon maaf anda tidak mungkin terus-terusan membuang muka memandang ke jendela. Bisa tenggen kram batang leher.
Akibatnya padangan mendadak tertaut ke mulut bayi. Maksud saya yang masuk ke mulut bayi. Sebagai info, tahun 1970-an saya misih Narayana dibawah 20-an. Belum gundul lagi.
Memasuki jam 3 dini hari kereta mulai berjalan cukup lancar. Sehingga suara getaran kereta menapak di sambungan rel mulai menghipnotis sebagian penumpang, bunyi glek glek yang oleh Pakde saya diterjemahkan sebagai "ojo jajan ojo jajan" kalau saya merengek minta es lilin dalam termos atau segelas es Camcau (cincau). Kadang kalau jalan agak membelok, kereta seperti "siut" bergoyang pinggul, sementara ketika melalui jembatan suaranya lebih gemuruh menderu akibat ledakan udara yang ditimbulkan antara kereta dengan pagar jembatan. Sesekali terdengar "Semboyan 35" yaitu isyarat suling kereta agar tuas sinyal diangkat pada beberapa ruas pintu pemberhentian kereta.
Si bapak, anak, bayi tertidur sambil disusui ibunya.
Pas saya mendusin, kepala bayi sudah melorot dari pelukan ibunya dan akhirnya "lha rak tenan" betul saja, bayi meluncur dari dekapan, melewati pangkuan dan hap saya reflek menangkap bayi tersebut. Ibu ayu yang saya taksir usianya baru lulus SMP-an masih pulas, seperti bayinya, ia pun tidak terbangun. Bahkan merasa bebannya lepas ia malahan meluruskan tubuhnya menghadapkan mukanya ke arah dinding kereta. Tak tega saya melihat ibu yang nampak kecapekan lalu bayi saya gendong.
Tapi eiit nanti dulu....!
Kalau saya boleh mengaku dosa, sebetulnya saya sedang terkesima sihir melihat pabrik makanan cair alami yang tetap mengucurkan produksinya dengan deras sampai menimbulkan basah di pakaian. Mohon seribu maaf kita bercerita moral mahasiswa dengan segala alat reproduksi sedang "sedeng sedengnya" sehingga kesan sesaat tetap menimbulkan reaksi dahsyat.
Keadaan tidak berlangsung lama. Tiba-tiba ibu terbangun geragapan dan bayi saya serahkan kembali. Di Jatinegara kita kan berpisah, kata Ismail Marjuki. Di Kebumen keluarga ini turun.
Sebelum berpisah sang bapak yang mengatakan saya seperti "orang Bali, karena baik" sekali lagi mengucapkan terimakasih dan bersyukur bayinya tidak sampai mencium lantai kereta.
Dalam hati saya, "disitu" bersyukur, keringat dingin saya mengucur.
Mimbar Bambang Saputro
mimbar [dot] saputro [at] gmail [dot]com
+62 811806549 - TEXT PLEASE
Comments