Es Potong
Anak saya pada hapal kelakuan bapaknya. Setiap kali kami berada entah di di Orchard Road atau Geylang atau mana saja di Singapura, lalu melintas di depan pedagang es-potong, tak ayal lagi bapaknya akan berhenti, mengeluarkan satu dollar dan berjalan sambil "nyecepi" menyedot es potong yang digencet dengan roti tawar.
Yang mereka tidak mengerti adalah ketika 1981, saat pertama kali dipanggil ke Singapura untuk menjalani pelatihan, belum pernah berbahasa Inggris secara aktip, menjadi kagok ketika harus mendengar dialog Inggris ala Singapura. Dan lebih penting lagi, sekok (shock) budaya dan harga mengingat harga makanan di Singapura kalau di kurs dengan rupiah kita menjadi teramat tidak masuk akal mahalnya. Tatkala perut mulai lapar, sekalipun saat itu mendapat uang saku sebesar 20 dollar perhari, maka dua potong eskrim berlapis roti tawar sudah cukup menangsel perut. Apalagi tujuannya menghemat, agar bisa untuk membeli oleh-oleh untuk anak-anak yang waktu itu masih balita.
Apalagi pengasong es krim yang biasanya dilayani oleh gerobak sepeda oleh empek-empek tua inilah satu-satunya pedagang makanan yang boleh mangkal di pinggir jalan macam Orchard Road. Tentu ada maksudnya sebagai makanan khas Singapura jaman baheula yang sudah mulai sukar ditemukan. Dengan satu dollar anda bisa memperoleh es berbalut wafer atau roti tawar yang empuk.
Biasanya mereka bisa ditemukan di depan Takashimaya, atau dekat Bugis Street.
Sekalipun demikian keunikannya adalah, sang penjual tetap menjaga kebersihan dengan, misalnya, mengenakan kantong plastik di tangannya ketika memotong es dan menerima uang sehingga tidak terjadi kontak antara makanan dengan benda asing. Belum lagi kalau menawarkan dagangannya mereka cuma teriak "Potong! Potong!."
Yang berubah, mereka sudah mulai melakukan diversifikasi bisnis dengan menjual air kemasan dalam botol.
Seperti ada gugon tuhon - tahayul, kalau tiba-tiba bawah puser berdesir ingin makan es potong sambil duduk disebelah pak Potong yang sedang bekerja (padahal bukan hari Minggu), biasanya ada satu atau dua teman lama melintas disana. Umumnya para pekerja Caltex yang memang kalau berlibur pada lewat pulau Batam dan bebas Visa.
Sejak itu saya seperti menanamkan ritual, belum ke Singapura kalau belum nongkrong "ngelamuti" menikmati es potong. Biasanya saya akan memilih rasa durian, kalau durian tidak tersedia misalnya, saya pindah jalur ke Kacang Merah, atau Pandan, Vanilla. Tapi jujur saja terhadap es potong (es dungdung) saya tidak terlalu fanatik dengan rasa. Pokoknya enak dan (h)uenak.
Mimbar Bambang Saputro
mimbar [dot] saputro [at] gmail [dot]com
+62 811806549 - TEXT PLEASE
Yang mereka tidak mengerti adalah ketika 1981, saat pertama kali dipanggil ke Singapura untuk menjalani pelatihan, belum pernah berbahasa Inggris secara aktip, menjadi kagok ketika harus mendengar dialog Inggris ala Singapura. Dan lebih penting lagi, sekok (shock) budaya dan harga mengingat harga makanan di Singapura kalau di kurs dengan rupiah kita menjadi teramat tidak masuk akal mahalnya. Tatkala perut mulai lapar, sekalipun saat itu mendapat uang saku sebesar 20 dollar perhari, maka dua potong eskrim berlapis roti tawar sudah cukup menangsel perut. Apalagi tujuannya menghemat, agar bisa untuk membeli oleh-oleh untuk anak-anak yang waktu itu masih balita.
Apalagi pengasong es krim yang biasanya dilayani oleh gerobak sepeda oleh empek-empek tua inilah satu-satunya pedagang makanan yang boleh mangkal di pinggir jalan macam Orchard Road. Tentu ada maksudnya sebagai makanan khas Singapura jaman baheula yang sudah mulai sukar ditemukan. Dengan satu dollar anda bisa memperoleh es berbalut wafer atau roti tawar yang empuk.
Biasanya mereka bisa ditemukan di depan Takashimaya, atau dekat Bugis Street.
Sekalipun demikian keunikannya adalah, sang penjual tetap menjaga kebersihan dengan, misalnya, mengenakan kantong plastik di tangannya ketika memotong es dan menerima uang sehingga tidak terjadi kontak antara makanan dengan benda asing. Belum lagi kalau menawarkan dagangannya mereka cuma teriak "Potong! Potong!."
Yang berubah, mereka sudah mulai melakukan diversifikasi bisnis dengan menjual air kemasan dalam botol.
Seperti ada gugon tuhon - tahayul, kalau tiba-tiba bawah puser berdesir ingin makan es potong sambil duduk disebelah pak Potong yang sedang bekerja (padahal bukan hari Minggu), biasanya ada satu atau dua teman lama melintas disana. Umumnya para pekerja Caltex yang memang kalau berlibur pada lewat pulau Batam dan bebas Visa.
Sejak itu saya seperti menanamkan ritual, belum ke Singapura kalau belum nongkrong "ngelamuti" menikmati es potong. Biasanya saya akan memilih rasa durian, kalau durian tidak tersedia misalnya, saya pindah jalur ke Kacang Merah, atau Pandan, Vanilla. Tapi jujur saja terhadap es potong (es dungdung) saya tidak terlalu fanatik dengan rasa. Pokoknya enak dan (h)uenak.
Mimbar Bambang Saputro
mimbar [dot] saputro [at] gmail [dot]com
+62 811806549 - TEXT PLEASE
Comments