813 - Siapa Bilang Kawin itu Enak? Sinih tak kasih tau ya...
Singkatnya penulis menceritakan bagaimana repotnya mencari hari baik yang ternyata sering tidak pas dengan ketersediaan hotel, mencari lokasi resepsi. tempat midodareni, membuat dan menyebar undangan dan pernik pernikahan.
Bahkan resepsi berlangsung yang kata orang menjadi raja sehari, justru rongrongan datang lebih hebat. Mana ada raja dan ratu kelaparan berat. Sudah berjam-jam dipaksa berdiri dan tersenyum sampai rahang sukar dikatupkan, saat dilanda lapar berat, mereka tidak boleh makan sampai acara selesai, sebab tugasnya hari itu adalah senyum dan mengucapkan terimakasih. Sampai-sampai memohon kepada juru kipas (anak-anak) untuk ambil "kue" saja.
Tapi celaka, baru mau mengemplok penganan, juru potret mendatangi sambil teriak "pengantin foto bersama." Ya ampiiiunnn ..Gagal maning SON!
Lalu ketika pesta usai, hari mulai dijalani dan saat kulit pangeran dan putri kesempurnaan mulai mengelupas helai demi helai. Pertengkaran demi pertengkaran mengisi kehidupan perkawinan mereka. Satu senang tidur menempel di dinding, yang lain kepingin lampu menyala saat tidur.
Pendeknya kehidupan perkawinan hari-hari, ditulis dengan jenaka oleh seorang ibu yang kangen Bakso, lantaran harus tinggal di Kuala Lumpur.
Barangkali Tria, sang penulis juga mahfum, dan pikir kembali akan novelnya kalau melihat lakon Kakawin-Lulu Tobing yang bikin orang geleng-geleng kepala. Memang sih duit-duit sendiri, tak elok dibicarakan. Agnes Monica saja mampu pesta ultahnya "cuma satu eM" - masak cucu bekas orang nomor satu kalah? Anak Danajaya ngejoss sampai "dua eM" - mau dibilang apa?
Sebuah koran IbuKota meliput acara dan gambar hampir memenuhi satu halaman. Buah bibir, kembang lambe soal cindera mata berupa uang yang di lipet, dijepit merebak. Ini bicara mata uang resmi yang katanya acara tivi tidak boleh, diremas, dilipat, distaples.
Tapi khusus Cendana boleh di "origami" - tapi sudahlah, media masa gencar meliput habis-habisan. Bahkan acara ikutannya tak kurang Habibi bikin buku, dibantah Prabowo, disanggah Wiranto. Rasanya peristiwa baru kemarin, episodenya sudah mulai abu-abu. Bagaimana dengan Surat semacam Super Semar, pasti satu orang seribu cerita.
Namun disudut koran, seorang ibu melahirkan dibawah pohon lantaran tidak punya uang untuk ke rumah sakit. Tapi kontrasnya, ini bukan anak yang pertama melainkan anak keempat. Doyan napa bu? - saya selalu iri melihat orang punya anak buanyak.
Impian saya dari dulu punya anak banyak sehingga mau panggil Hasan jadi Sri, mau panggil Joko jadi Jang.
****
Padahal beberapa malam sebelumnya, anak saya pernah SMS, "aku mimpi be-ol tadi malam..."
Lho kalau gitu buang uang di jalan, sebab orang tua dulu nasehatnya begitu. Bukan untuk menolak bala, tetapi sekedar rasa terimakasih kepada sang "kurir" - sehingga kalau bencanapun terjadi, hati sudah tegar.
Gantian SMS menyalak "Ini Singapore, jangan main-main dengan duit, ketahuan buang uang, bakalan jadi perkara masuk bui jadi anak rante.." - di Indon, kalau tidak mau jadi orang rante, silahkan buang-buang duit.
***
Pada 1996-1997, saya pernah memenuhi undangan pernikahan putrinya tokoh Pemuda Pancasila. Tidak usah ditanyakan hubungannya kekeluargaan, sebab sama sekali jauh panggang dari api. Sepanjang jalan masuk menuju Taman Mini, dipagar betis dengan pemuda berseragam "doreng" alias loreng-loreng jingga. Jadi anda tidak perlu tanya sana sini takut kesasar, karena dari jauh sudah "terbaca" yang punya hajat adalah bos vrijman.
Satu-satu kenangan adalah ketika acara "gropyokan" barang perkakas sehari-hari. Ada beberapa orang berpakaian ala petani masuk ketengah arena sambil memikul barang keperluan sehari-hari. Barang ini nantinya boleh diambil sambil berebutan tentunya. Kalau soal rebutan begini saya betul-betul "hidup akal", betul saja, tahu-tahu saya sudah di tengah arena, sikut-sikutan dengan beberapa menteri, termasuk Menteri Kesra untuk "alap berkah" memperebutkan gayung, talenan, mangkok perak, padi dsb. Acara perkawinan tersebut unik, tanpa pameran kemewahan tetapi nuansa agungnya bisa dirasakan. Dan bukannya jadi kacau balau lantaran rebutan "udik-udik."
Waktu itu saya dapat mangkokan perak. Atensi-ku biar cepat dapat jodoh. Tentunya untuk anakku. Benda tersebut sampai sekarang selalu membuat saya teringat segar akan agungnya resepsi pernikahan, betapa kencangnya genggaman ayah mempelai yang notabene "tokoh pemuda" - tak heran ia kondang dibelantara dunia keras. Dulu saat tokoh ini berburu kijang di Lampung, mereka memanen banyak buruan di pajang diatas Jeep sehingga saat meliwati jalan pulang ke Jakarta masyarakat Lampung melihat konvoi tersebut. Ayah yang saat itu masih aktip dikesatuan mendapat teguran soal "pelestarian hewan." - Lha ijinnya siapa yang bikin. Begitu bantah ayah.
Lho, setelah satu dasa warsa SMS yang dinantikan siang malam akhirnya berteriak juga. "Aku mau kawin....Pa! - Kalo bisa tahun 2007 - di Jakarta. "
Maka repotlah saya mendatangi segala macam tempat resepsi seperti Bidakara, Antam, Gedung Perfini dan beberapa daftar panjang, lantaran dompetnya pendek. Dan masukan-masukan kiri kanan mulai membanjir, pakai pemaes ini saja, kontrak katering itu saja dsb.
Ini urusan tidak main-main. Biasanya kami di "dapuk" jadi event organizer, sekarang kebingungan sendiri.
Secara kebetulan adik saya di Poso-Sulawesi mengirimkan kursi goyang. Tadinya saya ogah, tapi dia keukeuh dengan iming-iming, ini kayu ulin sehitam arang, tak bu tuh pernis, tahan ratusan tahun lantaran diemohi rayap yang racist. Rontok juga pertahanan saya. Apalagi katanya ongkos kirim cuma 300 ribu buat "anggota" yang membawanya pakai truk.
27tahun lalu saya bilang ingin berumah tangga, nenek yang masih keturunan "wong ndesa van Wanasari" duduk dikursi goyang sambil terkekeh "Mimbar iso njaluk rabi..heheheheh."
Pasalnya saya sudah kelompatan adik-adik. Beliau masih ingat, masa saya kecil sakit gabagen (tampak, cacar air), sampai step-step lantaran halusinasi merasa ada pasukan ninja menyerbu dari kebun belakang rumah. Ibu kebingungan, dan nenek menetramkan saya dengan menyongsongkan susunya yang sudah pasti sudah peyot dan "saat". Eh kok mujarobat, saya bisa "cep-klakep."
Dan saya sudah siapkan lagu "Pada hari minggu, duduk di-muka(nya) pak Kusir yang sedang bekerja" - atau lagu syair Garuda Pancasila ..Pribang-pribangsaku...
Sebentara lagi aku menjadi kakek, lansia. Maka bacaan saya sekarang adalah "persiapan menjadi menjadi Lansia." - menulis bagaimana rasanya menyiapkan sebuah perhelatan.
Wednesday, 27 September 2006
http://mimbar2006.blogspot.com
Tahun 2007 rencananya mengawinkan anak pertama.
Baru punya pot "puun dollar"
Comments