785 -Insiden Potomac, 175 tahun lalu

Kejadiannya Februari 1831.

Lepas dari pelabuhan Salem, setelah mengarungi badai ke selatan dunia melewati ganasnya "Laut Selatan" yang oleh pelaut sekarang disebut Samudra Pacific, terombang ambing diantara ketinggian gelombang, maka sampailah kapal dagang mereka ke "Sumatra Dwipa."

Kapten Charles Endicott memerintahkan anakbuahnya untuk berlabuh di Perdi- Kuala Batu yang ditulis dalam logbook sebagai QuAllah Battoo-"Kuala Bette". Hare geneh, tidak plesiran didarat pasti rugi. Maka ketika seorang kapiten dan empat anak buahnya penasaran membuktikan kabar bahwa para wanitanya dikenal memiliki ilmu bathin mampu memblokir "bunga Mawarnya" mengatup "mulut rapat", sampai kebisaan merabat torpedo. Rupa-rupanya kepergian mereka dengan pakaian rapi, sekujur badan disemprot pompa tangan dokelonyo" tanpa disadari sepasang mata tajam mengikuti gerak Kapten seperti tak berkedip. Raga nama tokoh kita kali ini, lalu mengatur siasat.

Saat kapten sedang sibuk dengan urusannya. Kapal mereka "Friendship" di satroni Raga dan pada konconya yang sebagian adalah Budak Malay (anak Malaka atau Malaysia), dengan berpura-pura "delivery barang" namun alih-alih malahan menguasai kapal. Selain menurunkan kargo, mereka sempat mengambil dana segar sebesar US$ 8000. Sementara untuk menutup jejak, ABK-nya dipenggal satu persatu sebagai ciri khas sepak terjangnya.

Bukan main terkejutnya Kapten Charles saat kembali melihat TKP rusak berat, isi kamar berantakan dan mayat bergelimpangan tanpa kepala, serentak ia minta perlindungan ke kapal Amerika lainnya dan mengirim telegram agar mengirimkan nota protes dan meminta ganti rugi kepada kepala Sultan Kuala Batu. Friendship sendiri ditarik ke Salem Massachusetts untuk diperbaiki.

Kawat diterima di Washington. Bahkan presiden Amerika Serikat mengambil langkah tegas. Dalam pidato didepan senat, presiden Andrew Jackson mengatakan bahwa telah terjadi tindakan menginjak-injak martabat Amerika di Hindia Timur oleh bangsa Sumatra I sehingga perlu dilakukan aksi militer untuk memberi pembelajaran "Dont Mess With US". "Perang terhadap teroris pengancam ketentraman dunia harus digalang!" -

Tidak jelas mengapa Aceh digolongkan sebagai daerah Sumatra Satu.

28 Agustus 1831, kapal Frigat keluaran Dok Washington nampak membelah perairan Sandy Hook di New York. Tujuannya pasti bernego dengan perompak selat Malaka sekalipun beberapa pihak tidak yakin masih ada tempat untuk berunding. Sebetulnya Potomac I ini belum selesai secara keseluruhannya, namun panggilan perang mengalahkan segalanya.

Potomac baru sampai pelabuhan Aceh pada 5 Februari 1833, 5 mil dari perairan Pedi, mereka melego jangkar. Cuma kali ini mereka menyamar sebagai kapal perang Denmark agar tak dikenali oleh para Achinese.

Aksi militer ini dikomandani Komodor Downes. Rencana pertama, sesuai perintah presiden Jackson adalah mengadakan negosiasi dengan SultanKuala Batu. Namun atas bisikan spion melayu bernama Poh Adam,"Mereka(Aceh), cuma mau berunding dengan pedang terhunus..." - sebab orang Aceh juga sudah khatam akan cerita kalau sampai perundingan dengan melucuti senjata, bakalan digelar fragmen Diponegoro jilid dua, yaitu nyawapun dilucuti. Masalahnya Amerika tetap keukeuh kalau Sultan melindungi boron Raga.

Geram karena jawabannya tidak digubris Amerika sebagai Sultan ia merasa tersinggung berat atas ancaman tauke sahang (lada, Palembang). Apalagi duta Potomac membuat surat yang isinya seperti memberikan peringatan keras, arogan dan berbau mengancam. Akhirnya ia malahan antian jual beli arogansi "kepala (kapten) Endicott saja bisa saya eli kalau dijual..." -

Endicott adalah nama Kapten Kapal Friendshipyang lolos dalam ambush tadi. Sepertinya Sultan Aceh ini memiliki visi ratusan tahun kedepan, dimana pemerintah yang sama mengobrak-abrikkepala negara dan seisi kota lantaran didakwa menyimpan senjata berbahaya. Soal tak terbukti, jangan kuatir siapkan tuduhan lain.

Hari masih subuh, saat embun menyelinapi pantai Kuala Batu, namun dari kejauhan nampak kapal-kapal menurunkan muatannya berupa "mesin perang" - Satu detasemen marinir dibantu tiga detasemen pelaut menyebar ke tiga penjuru pantai. Tak terelakkan lagi para kombatan Aceh dan Malaysia bertempur gigih sehingga selama 5 jam bertarung barulah pasukan Aceh kewalahan karena harus berhadapan dengan lawan yang menggunakan peluru berjarak tembak jauh.


Peristiwa ini diabadikan dalam bentuk lukisan perang "campuh" dimana tentara reguler "kaukasian" berbadan lebih tinggi besar, bercelana putih ber jas biru, menggunakan senpi panjang berhunus bayonet, melawan perompak yang bertelanjang dada dan hanya menggulung sarung menutupi aurat, dan bermodal pedang melengkung. Perlawanan sengit ini memang membuat serangan Amerika kandas.

Merasa kewalahan, 42 kanon kaliber 30pound diturunkan beserta senjata mimis (mesiu). Terang saja menang berani belum tentu menang betulan. Perlahan tentara rencong-pun dilibas dan tercatat 150 orang termasuk sultan Mahmud, tewas . Belum lagi benteng dan rumah yang dijadikan karang abang.

Tanggal 9 Februari 1833. Para marinir kembali ke kapal, bukan untuk pulang melainkan membombardir benteng Aceh sehingga rata tanah. Total diperkirakan 300 korban tewas akibat bom. Perbuatan ini memang menyebabkan sang Komodor John Downes sebagai pimpinan kapal diajukan ke meja peradilan dengan tuduhan melakukan operasi diluar BKO. Namun presiden justru Jackson membela dibelakangnya dengan mengatakan bahwa demi "meningkatkan hormat dan memberi pelajaran berharga kepada bendera Amerika dan memberikan perasaan aman pada jalur perdagangan kita..."

Nama John Downes masukdalam "Hall of Fame" dalam jajaran kemaritiman Amerika. Soal ratusan nyawa meregang termasuk perempuan atau balita, Amnesti Internationalseperti biasa, mlengos. Mungkin nilai jualnya kurang greget.

Namun kekalahan tersebut tidak membuat perompak selat Malaka jera sebab 7 tahun kemudian, sebuah kapal Amerika Eclipse dirampok oleh 24orang bajak laut.
Sunday, 20 August 2006http://mimbar2006.blogspot.com/

Comments

Anonymous said…
... and your posting is verivied.

Limabelas tahun yang lalu (1991) pada liburan pasca EBTA SMA saya bersama 14 remaja lain mencoba menapaktilasi cerita yang anda sajikan dalam blog ini, mencari jejak-jejak Kerajaan Islam Kuala Batee di Aceh Selatan, Aceh. Bekas-bekas situs kerajaan itu telah lenyap dan tersembunyi dalam hutan dan rawa. Namun kami berhasil menemukan beberapa bekas-bekas benteng lama yang dulu digunakan para pejuang dalam peperangan (mungkin perang melawan Amerika seperti dalam tulisan Anda). Bahkan kami juga menemukan empat meriam dalam beberapa ukuran (satu besar l.k panjang 3 meter dan tiga lebih kecil l.k 1,5 - 2 meteran).

Waktu itu kami cuma bercanda saja betapa Sultan "mengerjai" bawahannya dengan menyuruh mereka menggendong meriam-meriam seberat itu ke benteng yang begitu jauhnya. Soalnya kami sendiri aja yang cuma bawa badan baru mencapai lokasi setelah setengah hari berjalan kaki dalam lumpur dan hutan berduri, acap terperosok sampai ke dada di dalam bekas tapak injakan gajah sumatera di dalam rawa-rawa penuh pacet dan lintah Kuala Batee yang ganas.

Lalu, beberapa bulan yang lalu seorang pekerja LSM asal Turki yang bekerja di Aceh mencoba menulis sejarah persahabatan Aceh-Turki. Kepadanya saya sampaikan kisah ekspedisi kecil-kecilan kami ini. Saya mengatakan pada mereka bahwa ada kemungkinan meriam-meriam yang kami temukan dulu itu adalah meriam yang dihadiahkan oleh Sultan Turki kepada Sultan Kuala Batee. Dalam sejarah Aceh dikenal nama "Meriam Lada Sicupak" yang didapatkan oleh Sultan Aceh dari Sultan Turki dengan cara menukar meriam itu dengan secupak (dua liter) lada putih yang memang merupakan produk ekspor unggulan negeri-negeri nusantara saat itu. (Saat wawancara itu saya rasa saya agak terpengaruh dengan Novel "Arus Balik" Pramoedya Ananta Toer yang mengasumsikan bahwa bangsa-bangsa Nusantara pada abad ke-19 belum memiliki kemampuan teknologi untuk membuat sendiri meriamnya sehingga harus membeli atau meminta dari negara-negara lain yang lebih maju, khususnya Turki).

Sekarang, saya hanya tahu dari koran bahwa desa Lama Muda dan Lama Tuha yang kami jadikan base camp ekspedisi kami 15 tahun yang lalu hancur diterjang tsunami 26 Desember 2004 yang lalu.

Sahabat, terima kasih banyak telah menulis posting yang mengingatkan saya pada aktivitas yang pernah mewarnai hidup saya di waktu lalu.

Afridal Darmi, Banda Aceh
Sahabat Afridal Darmi..
Waduh amat beribu terimakasih saya mendapatkan masukan masukan berharga.Luar biasa sekali.
Kebetulan saya baca logbook kapal-kapal yang pernah singgah di Kuala Batu, ada yang tewas karena disentri, akibat perang dengan kapal lain dsb. Kok kebetulan pakai bulannya Agustus sehingga ingin saya mengungkapkannya.

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung