781- Dari Koantas ke Qantas

Kebiasaan di tanah air kalau hendak bepergian paling tidak 2 jam sebelumnya sudah harus di bandara. Pertama mengatisipasi kemacetan dijalan raya, apalagi kalau tersiar kabar ada "delmon" alias demonstrasi, kedua antisipasi mbludaknya penumpang, serta kemungkinan pindah pintu gerbang dan yang paling penting karena pelayanan publik kita terbiasa lelet.

Kebiasaan ini terbawa bawa sekalipun situasi Australia tentunya berbeda. Tapi pernah sekali darah-putih "naik ke kepala" - lantaran teman bepergian baru bangun pada jam 12 siang, mandi, memasak "sarapan", baru bersiap membereskan barang-barangnya padahal pesawat boarding pada jam dua petang. Akhirnya daripada sport jantung, saya "nggeblas" saja meninggalkannya. Eh kok ya ternyata dia betul. Tidak berapa lama teman tadi muncul"eglek-eglek" masih sempat "nyengenges" sambil bibirnya menyedoti jus buah dalam cangkir kertas dan baca novel. Ampuuun.

Pengalaman menjadi TKI non-terminal III selama dua tahun belakangan ini, dalam catatan saya adalah efisiensi dalam pengaturan "pergantian crew." Semua daftar personel dicatat dalam spreadsheet yang didistribusi melalui email kesetiap personil lapangan maupun kantor, berikut nomor tilpun, dan tiket dikirim berupa lampiran (attachment) transaksi pembelian tiket secara elektronik (e-ticket). Berlalu sudah era kertas carbonless, apalagi instruksi embel-embel "ambil tiket dikantor pagi-pagi ya" - padahal yang paling sering terjadi menjelang tutup kantorpun, kurir pengantar tiket belum juga datang.

Di Australia perusahaan tinggal kirim email kepada pegawainya yang sebagian tinggal di Jakarta dan Yogya eh Bekasi juga, lalu saat lapor, tunjukkan passport di airport untuk bukti diri, dan tanpa banyak cingcong, boarding pass lalu diberikan. Hemat waktu, hemat uang! kata iklan centil pengharum pakaian. Jadi tidak ada alasan tidak pernah buka email. Sebab perkakas ini sudah menjadi kebutuhan pokok. Apalagi handphone murah meriahpun dilengkapi fasilitas baca internet. Atau mengakses internet dari warnet yang tersedia dimana-mana.

Naik Qantas (jam 01 pagi) di bandara Sukarno Hatta lalu saya terkaget lantaran ada bule ikut melayani penumpang di Bandara, mengawasi jalannya screening penumpang sehingga mau tidak mau, sepatu, ikat pinggang ikut dilolosi sebab peraturannya memang demikian. Ini pasti sesuai dengan ekskalasi perang Lebanon, sehingga keamanan diperketat.

Lalu saya lihat seorang ibu yang waktu masuk ruang tunggu sangat anggun percaya diri, namun sesaat berubah menjadi panik tatkala barang kabinnya ternyata melebihi ukuran yang ditetapkan. Ini memang sudah menjadi ciri kita kalau naik pesawat barang ditenteng sampai "geloyotan." Ibu cantik bercat rambut merah ini, kebingungan sebab dia sudah tidak membawa uang cash banyak sehingga bertanya "bagaimana kalau kelebihan bagasi dibayar dengan kartu kredit" - Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan drama ini.

Dua jam penerbangan saya masih menyempatkan menonton Setinel-nya Michael Douglas. Ada nilai yang saya ambil. Menjadi tua ternyata belum kehilangan "sungu" alias tanduk. Justru plot pembunuhan presiden yang begitu rapi, hanya dideteksi oleh "gut feeling" Douglas berdasarkan pengalamannya. Kalaupun saya terganggu kelenjar, saat adegan Mrs Prez Kim Basinger mencopot sepatu dengan cara menyentak kakinya untuk memamerkan betis yang aduhai.

Sampai di bandara Perth, hari masih pagi benar, seperti biasa cuaca dingin Perth langsung menerpa muka. Cuma "teman" berkaki empat dari brigade satwa (beagle brigade) tidak muncul mengendusi bawaan penumpang. Mungkin masih ketiduran.

Taxipun harus menyalakan pemanas agar kami tak beku kedinginan.

Di pelataran "klim bagasi" saya lihat beberapa orang Indonesia yang semula berkicau meriah di ruang tunggu di Jakarta dan didalam pesawat mulai "lemah batere". Apalagi ketika petugas pabean menanyakan "Speak English" - herannya seperti seragam seluruh rombongan berubah menjadi "cucakrawa pendek buntutnya". Pertanyaan petugas selalu dibalas godeg-godeg. Tidak heran orang India, Pakistan yang terkenal murah namun mampu berbahasa Inggris seperti bandang ke negeri Kangguru ini.

Dan ibu bercat rambut pirang, saat di Perth, ternyata mengambil jalur "Australian Citizen"

Ketika keesokan harinya saya ke terminal Domestik (Perth mengenal terminal internasional, dan terminal lokal yang jaraknya sangat berjauhan). Ada yang berubah dibeberapa tempat saya biasa check in ini. Banyak benda mirip dispenser uang alias "ATM-ATM" bercat merah sebagaimana warna kesayangan perusahaan Australia Qantas, dan beberapa loket tempat saya bisa checkin nampak sepi. Di atas loket, layar monitor menunjukkan "baggage-drop only." -

Sepertinya saya melihat kedatangan Dewa Panicmulai menjamah bagian puser sehingga terasa darah mengalir lebih cepat, tetapi usus besar mulai mendorong-dorong. Sebuah kebiasaan kalau terlanda stress adalah sakit perut.

Harap maklum di tanah air biasa menunggang KOANTAS van Kampung Rambutan, jadi rada "gugak-guguk binti nunak nunuk" untuk mencoba mesin dispenser Qantas sampai seorang petugas membaca aura saya yang bruwet lalu dengan ramah menanyakan, "akan kemana?"

"Karratha," jawab saya singkat. Ini penerbangan lokal selama 2 jam dari Perth ke Karratha, untuk kemudian disambung dengan Helikop terperusahaan Bristow selama 45 menit ke Rig Pengeboran "Ocean Bounty" dengan singgah di FPSO (Fasilitas Produksi Terapung) MV11 milik perusahaan Woodside.

Karratha adalah pesisir Australia, daerah gersang namun diperkaya oleh tambang pasir besi, tambang garam dari Maatschapij Rio Tinto, tambang asbes dan belakangan tambang minyak.

Ia lalu meminta saya memasukkan nama, kode penerbangan sesuai dengan yang tertera didalam Electronic Ticket. Lalu setelah melakukan semuanya melalui layar sentuh, voila "mak jeglek" - keluar Boarding Pass, bahkan kalau anda memasukkan data "Frequent Flyer" - di pass sudah ditulisi bahwa anda adalah langganan tetap perusahaan tersebut.

Kelar dengan per-dispenseran, kalau anda mempunyai bagasi, baru dilaporkan kepada petugas check-in untuk diberikan tanda terimanya, dan dengan cara ini maka antrean panjang yang biasa kita saksikan ditanah air, sudah tidak terlihat. Jadi kepikiran kalau cara ini diterapkan juga di perkantoran tanah air, bakalan banyak orang keberatan. Sebab bukan rahasia, para biro perjalanan berhubungan bisnis tapi mesra dengan bagian tiket. Akibatnya mereka berlomba-lomba memberikan bonus kepada perusahaan yang menggunakan jasanya demi mendongkrak omzet.

Sunday, 6 August 2006http://mimbar2006.blogspot.com

Mimbar Bambang Saputro

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

774-Tongseng Serambi (masjid) Sunda Kelapa