786 - Antara Intuisi dan institusi

Sebetulnya hati kecil Joel,68, warga New York, mengajaknya untuk memotret menara kembar WTC di komplek Manhattan, Amerika Serikat sebagai bahan buku maupun pamerannya. Ia memang sering mengadakan pameran foto dengan obyek perkotaan. Tapi apanya yang menarik dari bangunan beku yang dikritik sebagai pengejawantahan Arogansi Gigantisme. Lagian diabadikan sekarang atau besok apa bedanya, toh menara berlantai 110 dengan kapasitas 50000 orang ini ini besok masih ada berdiri tegak disana?.

Alasan lain cukup dengan melongok dari studionya di 19th street ia sudah bisa menyaksikan sosok menara kembar yang dibangun 1966 dan diresmikan 1973. Namun Joel juga ingat teori menulis maupun memotret, bahwa selalu ada "mahluk kecil" yang mencoba menghalangi niat jurnalis kita dengan suara sumbang "foto norak mau dikemanain, diluar sana masih banyak yang lebih hebat daripada kamu.."

Untungnya suara kecil hari bisa itu dikalahkan. Diangkatnya kamera dan ceklik, lalu ia mengisi logbook WTC 7.30 maksudnya obyek WTC diambil jam 7:30 tanggal 5 Sep 2001. Sebagai photographer terbiasa mengadakan pameran foto kota besar, ia sadar hasilnya kurang greget, apalah artinya bangunan kaku, langit New York yang bersih, tidak ada drama.
Minggu depan mungkin bisa diulangi. Suara kecil tertawa mengejek:" sudah kubilang, Norak..ngeyel"

Maka bagaimana ia tak terperanjat ketika ia berada di Chatham, Massachusetts, isterinya dengan gemetar emosional menilpun memberitahukan bahwa menara kembar sudah hancur ditabrak pesawat. Di TV, ia melihat menara angkuh sudah loyo mengeluarkan asap tebal.

Dengkulnya seperti tak bertulang. Bahkan trauma membayangi warga Amerika setiap melihat pesawat seperti mendekat suatu bangunan tinggi. Lalu ia ingat kata-katanya sendiri "Oh well I ll be come back next week. They ll always be there," Ternyata ia silap. Hari esok tidak akan pernah sama dengan hari ini dengan kehilangan momentum untuk diabadikan.

Sekarang sekalipun ia "mbebeki atau mbanyaki" itu kata cangkokan saya ambil dari orang Gancahan-Yogya untuk orang yang panik lari kesana kesini. Tidak akan menyelesaikan masalah. Ia berada di luar kota, sementara lima hari penerbangan dalam Amerika ditutup.

Maka kegetunannya makin bertambah.

Hari yang ditunggu tiba, sesampainya dilokasi, langsung mengeker dibalik kamera ketika sebuah tepukan keras dibahunya :"ini kejadian kriminal dilarang memotret..", ternyata suara seorang polwan.

Dia berkelit, saya "press" - lalu ibu polisi mengocok-ocok jempolnya kesuatu arah dimana para reporter dibelenggu oleh Police Line agar tidak mendekati lokasi Ground Zero.

"Kapan press akan diijinkan mendekat?(ground zero)" tanyanya lagi

"Never!" - tukas polisi.

Iapun berfikiran, kalau saja selalu mengiyakan perintah polisi, kapan sejarah ini akan tercatat. Hidup ini perlu ngeyel.

Sebentar lagi puing akan dibersihkan,menara akan ditegakkan, hilang sudah saksi sejarah. Kali ini nekad dengan membawa peralatan ia memasuki reruntuhan yang sudah diberi tanda police line. Sia-sia, polisi malahan mengancam akan menyita kameranya kalau ia keukeuh memotret.

Terpaksa ia mencoba menulis proposal sebanyak 5 halaman kepada Walikota New York, yang sudah bisa diduga lebih suka berbicara dengan para reporter ketimbang menggubris urusan potret, ya sekedar "potret" - padahal benda mati inilah yang akan bercerita dari generasi ke generasi. Akal lain dipakai dengan mendekati seorang kenalan sebagai pekerja bangunan. Maka ia menyamar menjadi kuli bangunan dan mencoba memotret.

Tidak gampang, karena polisi selalu berada didekatnya mengusir dengan mantra berulang "maap saya hanya menjalankan tugas.." - agak sulit menyembunyikan peralatan foto salon seberat 11 kilogram rupanya.

Tanggal 23 September usahanya tidak sia-sia ia berhasil ke lokasi Ground Zero yang kalau kita bilang Lepel Satuk. Ada 7 polisi lusuh berseragam ala pasukan DALMAS anti huru hara, sedang duduk mengaso di kursi berantakan. Ia sudah menduga bakal digusah. Namun almarhum ayahnya seorang salesman bilang ia selalu mendekati orang dengan membuat mereka terkejut lalu ketawa dengan sulapan kecilnya. Ia membelakangi polisi tersebut, sampai akhirnya "mak bedengus" seakan sudah duduk di pangkuan pak polisi sambil bilang "hei anda ada di kamera.."

Terjadi ketegangan, orang sudah capek, marah kepada pemerintah Amerika yang tidak bisa melindungi warganya, harusnya Presidennya diganti saja, walaupun memang akhirnya kejadian, cuma yang ketiban sial Presiden negara lain. Namun entah mukjizat apa, ketujuh "polisi" itu malahan tertawa, dan berkata "untuk dokumentasi anak cucu.." -

Celakanya mereka malahan jadi penghalang dengan sok tahu dengan memberi tahu "sudut potret sana lebih bagus, sudut potret sini lebih mencekam dst.." Dan ini halangan bagi seorang jurupotret kalau sudah mulai diatur posisi oleh pihak lain. Ternyata mereka adalah anggota Jihandak Amerika. Mereka masih ingat bahwa tahun 1993, seberat 700kilogram bom meledak di garasi menara utara, 7 tewas dan ratusan luka-luka, tujuh dari anggota kelompok radikal yang diduga berasal dari kelompok yang sama berhasil dirangket ke bui.

Sembilan bulan Joel bekerja hari demi hari di lokasi Ground Zero dan hasilnya adalah sebuah buku berhias foto "Aftermath" - cuma harganya nggak putus AUS$120.

Dan kalau ia melihat logbook bertuliskan WTC 7.30 dan foto yang biasa-biasa saja, ternyata sudah menjadi barang antik yang tiada tara nilainya.

Seperti kata orang, Intuisi kadang perlu diperhitungkan.

Mimbar Saputro
Masih mencari foto naik sepeda roda tiga usai 3 tahun di Pandegelang
Banten, ditemani seekor anjing coklat dipanggil blakie (hitam).
Atau foto saat masih gondrong sebahu di mahasiswa, lalu plontos tak
berdaya erosi.

Thursday, 24 August 2006
http://mimbar2006.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung