788-Layangan
Jendral Han Sin dari Dinasti Han memang jago strategi perang. Tak heran ketika anak cucu keturunannya berhasil menerapkan strategi dalam alam lain yaitu niaga, maka segenap benteng pertahanan lawan dagang biasanya disergap secara cepat dan lambat lalu dikuasainya. Sampai-sampai keluar daratan Cina.
Alkisah 200 tahun sebelum Masehi, Jendral ini mengalami kesulitan menyerang musuhnya. Lalu ia berfikir untuk membuat terowongan memasuki benteng pertahanan musuh, dan menyergap saat musuh lengah. Untuk tujuan ini, mereka berpura-pura menerbangkan layang-layang sampai menyuruk ke daerah musuh yang sebetulnya mengukur panjang terowongan yang harus ia buat, sekaligus azimuth dan inklinasinya. Kelihatannya sejarah layang-layang bermula dari kepiawaian sang jendral.
Maka betapa saya tidak merasa jadi Jendral ketika ketika berhasil meraut buluh sebatang, dipotong sama panjang, ditimbang lantas kujadikan rangka layang-layang. Maka langkah bahagianya ketika layangan mampu melesat ke udara dengan keseimbangan yang prima.
Apalagi kalau mampu membalut benang "cap gajah" - dengan bubukan halus "amril" alias beling porselin yang jaman dulu adalah barang pecah yang wah, setelah dibubuk halus, diayak dan dicelup dalam "kak" atau lem kayu yang baunya bacin nan mblengeri, dan diadu di udara. Lalu sambil bersenandung lagu pernah perduli bahwa lagu tersebut bajakan dari lagu Padang "Kampuang nun jauh dimato.."
Bermain layangan selalu harus gembira dan bernyanyi, minimal bersiul sebab kalau angin sedang ogah-ogahan, lalu dewa angin dipanggil seperti siulan memanggil "kirik" atau anak anjing agar membantu anak anak bermain dengan hembusan bayunya. Seperti mendengar, pelan-pelan angin berhembus meniup layangan. Soal mengapa dirumah tidak boleh bersingsot (siul, jawa) ria, saya tidak jelas.
Kalaupun ada pengalaman nggak enak, adalah saat kepala saya dijitak sang penguasa lantaran pisau cukur lipat milik ayah "cap kupu" made in China menjadi ompong dipakai memotong layangan. Paginya ketika bapak mau mencukur kumis, terperanjat pisaunya ompong dan majal. Terang saja pisau lempar handuk ketika dipakai untuk memotong "brengos". Dulu saya anggap perbuatan ayah adalah "facist bin nazi" tetapi ketika merasakan sendiri cukur pakai silet "ralandhep" - kejengkelan ayah bisa dimaklumi.
Layang-layang juga yang "menyambut" kedatangan saya di bandara Cengkareng. Lalu terbayang pelajaran di SD, alkisah pada saat musim panen raya tiba para petani bergembira, remaja bersuka sambil bernyanyi gembira. Sementara menunggu musim tanam tiba sawah dijadikan ajang permainan layang-layang. Cerita memang berubah nada ketika panen raya tiba maka harga padi melorot diluar yang diinginkan. Tapi soal layangan tetap naik gembira.
Hanya kali ini rada ketar-ketir tatkala beberapa layangan menyeruak hampir setinggi pesawat. Bagaimana seandainya salah satu dari layang-layang yang bergelut tadi putus, lalu "mumbul" dan masuk ke "turbo" pesawat.
Apakah tidak jadi berabe. Kalau burung-burung nakal bisa diusir dengan "suara-suara" yang dipancarkan pada gelombang tertentu. Tapi bagaimana dengan layangan apakah kegembiraan anak-anak bermain yang relatip murah juga harus dikorbankan demi keamanan pesawat.
Wednesday, August 30, 2006
http://mimbar2006.blogspot.com
Comments