866 - Anjing dan Perempuan Buta
Sebuah siang yang melelahkan, suhu mencapai 40 derajat selsius di Perth ketika saya keluar dari halaman konsulat Indonesia di Perth, tepatnya diluar pagar konsulat lantaran hanya diperbolehkan memencet bel dan bicara didepan aiphone untuk menanyakan kemungkinan memperpanjang passport. Sementara pagar konsulat yang tinggi bercat hitam bagai menolak kedatangan seorang TKI macam saya atau karena waktu di hari Rabu Februari menunjukkan pukul tiga petang waktu setempat. Passport saya sudah kurang dari enam bulan masa lakunya, keadaan banjir di Februari 2007 membuat saya ragu apakah pelayanan publik di Jakarta bisa diharapkan diandalkan. Ternyata di Australiapun urus passport harus sepuluh hari kerja, sementara anak saya di
Disebuah lampu setopan, seorang wanita muda berbaju terusan hitam nampaknya buta dituntun seekor anjing labrador. Ia berdiri mematung beberapa waktu, kepalanya digerakkan perlahan terpatah patah untuk membedakan frekuensi suara yang berbeda.
Nampaknya inilah jawaban mengapa setiap kesempatan lampu hijau berikon “pejalan kaki” berkedip-kedip selalu diiringi suara bel panjang. Hal biasa namun sangat bermanfaat bagi penyandang tuna netra seperti bule didepan saya ini.
Betul saja, begitu ikon pejalan kaki berubah dari merah ke hijau,
Persimpangan demi persimpangan mereka lalui dengan lancar. Mengherankan, anjing adalah mahluk dengan kebiasaan mengencingi tonggak, pohon yang ia lewati atau menyiumi bau yang ditinggalkan hewan lain.
Dan acuh manakala melihat mahluk lain memprovokasinya.
Namun kadangkala mereka berdua sempat bingung menentukan apakah lampu setopan di depan berwarna hijau atau merah. Tangannya mencoba menyentuh tiang lampu meyakinkan bahwa ia berdiri ditempat yang tepat. Sayang jaraknya masih beberapa centimeter dari jangkauan. Hal yang sepele namun bagi orang buta sudah sempat membuatnya kebingungan sehingga saya yang berjalan separuh berlari ngos-ngosan mengikutinya langsung memberikan arahan “its okay Maam, you can walk now…”
Ia malahan menjawab uluran kata dengan “Oh I am so sorry, I am so sorry” – dan sebentar saja ia sudah hilang bersama anjingnya diantara kerumunan manusia.
Lalu saya ingat cerita seorang tehnisi komputer yang berada di World Trade Centre, saat kejadian WTC. Anjing penuntunnya sedang tiduran di bawah meja ketika terdengar ledakan diiringi suara kaca pecah dan melayang dimana-mana. Merasa bahwa gedung bakalan runtuh maklum ia berada di lantai ke 71, saat itu yang ada dibenaknya ajalnya tiba dan sang teman setia berkaki empat harus selamat. “Dorado” segera ia lepaskan dari kekangnya agar sebagai hewan menuruti instingnya menyelamatkan diri diantara reruntuhan gedung dan hiruk pikuk manusia. Namun Dorado malahan memutar balik, mengalahkan instink egoisnya dan mulai menuntun Rivera menerobos gedung yang kolaps, manusia yang berjejal sebagian tewas dan terluka, dan selamat keluar diantara reruntuhan gedung. Sejam kemudian gedung yang barusan mereka tinggalkan runtuh total.
Hari itu sekali lagi saya dapat jawaban mengapa lampu merah perlu diberi suara bel. Dan kedua saya menjadi amat lebih apresiasi terhadap hewan berkaki empat ini. Sekalipun belum sempat memeliharanya.
Mimbar Bambang Saputro
Comments