Trio Kwek Kwek van Rawabogo
Azan subuh sebentar lagi berkumandang berkumandang. Namun suara katak, jangkrik dan serangga penghuni rawa dingin yang saling bersahutan mengisi pagi. Kabutpun masih menyelimuti puncak pepohonan pisang dan singkong penduduk. Hujan semalaman membuat tanah merah nampak lembek dan rawa mulai tergenang sehingga bibir air menyapu bangunan sangat sederhana dipinggiran rawa yang dijadikan rumah kontrakan.
Pura-puranya kamera bergerak mendekati mendekati sebuah rumah berpenghuni tiga anak. Ada kabut lain, tipis mengepul dari halaman depan. Perempuan berambut panjang sesekali menyibakkan rambut ekor kudanya yang menjuntai menutupi wajahnya. Ia sedang mengaduk adonan tepung beras, mempersiapkan penganan berupa kue cucur dan serabi untuk dijual ke warung-warung sekitarnya. Sepotong kue dilepas 1200 rupiah sementara pihak warung menjualnya 1500 rupiah. Mahalnya minyak tanah menyebabkan mereka beralih ke ranting dan kayu bakar untuk memasak. Yang menguntungkan, bahan bakar tersebut tersedia cukup melimpah di kawasan tempat tinggal kami.
Rumah sempit ini hanya sewaan dengan dua bilik tidur kecil, sebuah ruang tamu dan berbagi kamar mandi dengan tetangga sebelahnya. Paidi harus menyetor 250.000 per bulan kepada pemilik rumah Arya, seorang Bali, Pensiunan Angkatan Udara. Ketika azan mulai terdengar, suara rantai sepeda berkerot pertanda kue sedang dalam perjalanan menuju pelanggan. Paidi, memang menggantungkan nasibnya dari karya sang istri, sementara di sore hari giliran istri menagih transaksi kue yang terjual dan membawa balik kue yang tersisa, serta membeli tepung beras dan bahan lainnya untuk keesokan harinya. Sehari mereka membawa untung 20.000, sehingga untuk membayar sewa rumah. Paling tidak 13 hari harus disisihkan.
Tiga anaknya agak memprihatinkan dalam kecerdasan. Sebut saja ibul, 7 tahun, murid kelas satu. Hanya mampu berkata 5 patah kata sehari, selebihnya diam, apalagi kalau sudah didepan TV tua hitam putih menyaksikan filem Kartun. Selain senyum, tangisnya lebih banyak ketimbang pecakapannya. Atau adiknya Imal, yang lebih cerdas, wajahnya tampan, senyumnya simpatik, namun anak usia 5 tahun ini belum mengenal sekolah, sementara bungsu Nila, 3 tahun, tak mudah diajak bicara kecuali kalau urusan memperbesar rongga paru-paru dengan tangisannya yang terkadang menyebalkan lantaran menjadi senjata utamanya bila meminta sesuatu.
Bagi Paidi dan istri, pantang baginya membentak anak apalagi sampai mencubit. Mereka sadar senjata ampuh sang anak berupa "menangis gulung koming". Kalau tingkah anak sudah tak terkendali, mereka hanya membiarkan anak bergulungan di tanah sampai keletihan dan ini bisa berlangsung satu sampai dua jam diselingi jedda beberapa saat.
Karena kebiasaan mereka bertiga "mewek-bareng-bareng" - kami menggelarinya sebagai "Trio Kwek-kwek." Apalagi didepan rumah ada 30 ekor itik mentok (Manila) peliharaan mereka. Klop sudah. Soal flu burung, bukan isu bagi keluarga ini.
Bila badai tangis mereda bungsu Nia saya wawancarai "tadi siapa yang nangis?"
"Nila" katanya sambil memperlihatkan 4 deretan gigi ompong yang menunggu giliran tumbuh.
"Kenapa nangis," desak saya
"Kue..." - maksudnya minta beli makanan, dengan cara demokrasi yaitu menangis...
Tapi bagi kami, anak-anak ini adalah teman. Kadang mereka sudah "on air" jam 5 pagi. Dengan catatan mereka melewati sarapan menangisnya. Kalau saya cuci mobil atau aktivitas lain di luar rumah, mereka bertiga sibuk membantu diselingi saling berebut selang air untuk main semprotan, dan saya yang basah kuyup akibat kelakuan mereka. Dikantongku sering ada permen, kadang biskuit untuk mereka. Setiap saya memarkirka kendaraan, mereka melihat dengan mata penuh pesona. Akhirnya suatu malam saya mengajak mereka masuk mobil untuk sekedar berjalan jalan. Maksud semula ingin mengajak mereka makan malan di restoran sederhana. Si Bungsu mula-mula bernyanyi dan ceriwis, lalu mulai mengeluh pusing sampai akhirnya muntah karena mabuk kendaraan. Terpaksa semua rencana ke Mal menjadi berantakan diisi dengan acara mencuci jok yang terkena muntahan.
Keponakan saya kalau mengunjungi kami selalu membawakan makanan untuk mereka bertiga. Mereka sebut acara "kebersamaan." Sekaligus pendidikan untuk menumbuhkan empati kepada pihak lain yang lebih memerlukan. Sebagai imbalannya personil Trio Kwek Kwek menemani bermain "bakar sampah atau kayu kering.." yang tidak akan dijumpai di rumah mereka di Jakarta.
Disamping kesabaran mendidik anak, keluarga ini ringan tangan membantu tetangga yang mengalami kesukaran, dan tutur bahasa yang santun, ada keunikan yang ingin saya exploitasi dari eluarga ini. Maaf saya berbicara "sudzon". Jadi anak polisi di tangsi lagi, sukar bagi saya melepaskan diri dari usil dan sok penyidik.
*****
Kami amati sekitar jam 8 pagi, selalu ada sekelompok orang berkumpul di rumah pengap ini. Mereka yang kadang jumlahnya sampai 5 lelaki, berkumpul dan mendiskusikan sesuatu. Karena dilakukan dengan teratur, maka mampirlah "owl messenger" membawa pesan "something going on."
Rapat ditempat super ketat pengap, hampir dilakukan tiap hari ? diperlukan niat, dedikasi dan visi yang membara untuk mampu melakukannya. Bayangkan kita yang sudah kumpul di ruang ber-AC, diberi minuman ringan, kopi, snack yang berlebihan. Rasanya rapat tidak putus-putus. Bosan. Namun mereka rajin sekali melakukannya.
Pertanyaannya, apa visi mereka? padahal kalau dilihat penampilannya mereka adalah orang masih bergulat dengan kesulitan ekonomi yang mendasar. Perkenankan saya menggunakan ungkapan ala mudlogger "yang pakai motor saja bisa dihitung" -
Imal pernah saya wawancarai. Dengan bujukan sebatang coklat nonton kartun.
"Bapak bajar," maksudnya bapak belajar. Catatan kita bicara dimana saya telah mengeja 100 kalimat dengan kecepatan bak caterpillar di dahan.Menggunakan teknik semi hipnotis.
Setelah setengah batang coklat sudah masuk mulutnya. Ia menjawab "Pake Tipex," ini kalimat kedua setelah 100 kalimat saya pelotot perlahan-lahan. Maksudnya belajar pakai triplex sebagai papan tulisnya.
"Tamu" - maksudnya yang mengajar adalah tamu. Kami memang melihat seseorang bercelana hitam, tinggi sedang dan berbadan subur yang selalu datang terlambat sambil membawa buku tebal.
"Tauk, ditutup," ini juga sandi yang dipecahkan sebagai "Saya tidak tahu apa yang terjadi, sebab pintu kamar belajar ditutup.."
Capek nggak sih berdialog cara begini.
Pernah juga dia bilang "ibu pijit...." kata salah satu personel trio Kwek Kwek yang termuda.
"Siapa yang pijit..." - tanya saya ndedes
"Bapak...," katanya polos
Wah, dalam hati saya, jam 13.00 bolong begini pijetan, bakal dari trio menjadi kwartet kwek-kwek.
Jam 10 kadang jam 11:00 para tamu undangan mulai keluar, ada yang mengangkat tinggi-tinggi pantalonnya lantaran sepatu sandalnya kejeblok tanah liat lembek. Ada yang nyengklak sepeda ojek. Wajah mereka seperti baru mendapatkan pencerahan. Dan tetangga masih diselimuti teka-teki. Ada apa dibelakang tembok putih selama ini.
Sekali tempo saya sempat bermain ke rumahnya. Dengan alasan menyumbang botol minum dan tas sekolah buat Ibul. Saya boleh kecele, lantaran tak satupun simbul menempel didinding, atau kitab-kitab aneh misalnya.
Tadi pagi sepulang dari jalan ala "Perjaka Senja" - ditengah kebun singkong ketemu seorang bercaping, memanggul pacul, arit, sapulidi. Saya hanya mengangguk, mahluk bercaping sudah nyerocos. "Pak Ongkot kena beling sekarang dioperasi, kena tetanus pak!" - seperti memahami kebingungan saya dia meneruskan "pak Ongkot itu penggarap kebun singkong ini...".
Lalu ketika melihat satu persatu orang melewati menuju rumah "Trio" - dia komentar "Orang Sunda itu rapat melulu, begini pagi sudah rapat, sementara kita mah ngoret!"
Lho ternyata yang usil pingin tahu urusan orang bukan hanya saya. Plus Sara pisan!
--
Bekasi3/25/2006
Mimbar Bb. SAPUTRO
Text Msg: +62811806549
Mimbarpedia
Sudzon: curiga, menaruh rasa tidak percaya.
Ngoret: membersihkan tanaman dari gulma
Nyengklak: Naik sesuatu (sepeda) sambil melompat
Pisan: bisa diterjemahkan lagih (pakai h) atau tauk (pakai k)
Comments