Dawet tak berdawai

Sejek-bujek dari kecil minuman yang bernama dawet alias cendol sudah seperti “default”, maksudnya begitu bangun tidur diajak bicara soal makanan, maka jawaban yang tersedia hanyalah “cendol”. Bahkan untuk mengisi kolom pengingat kata sandi pada email semacam Yahoo atau Gmail saya memilih minuman favorit sebagai "dawet tak berdawat." Apalagi dibanding BBM, tarifnya relatif flat. Dua ribu segelas. Begitu spesialnya sampai-sampai kalau sedang perjalanan keluar kota lalu melihat penjual dawet di pinggir jalan, saya niat banget meminggirkan kendaraan demi segelas minuman bersantan.

Akibatnya funatic dawet saya tidak membedakan kasta dawet, selama masih dalam jangkauan telpon selular dan Tilpun rumah maka dawet dipandang sebagai minuman yang enak atau enak banget.

Kalau sudah melihat dawet “tumpuk-undung” licin, dengan warna hijau beraroma pandan wangi, ditingkahi sepuhan coklat dan putihnya santan kelapa bak sapuan kuas pelukis.

Dengan kombinasi warna saling isi mengisi kelemahan satu sama lainnya sehingga tidak heran dawet dijadikan perlambang magis adat Jawa dengan upacara “jual dawet” pada acara siraman menjelang akad nikah perlambang permohonan – banyak rejeki sehingga uangnya untel-untelan (saling tumpuk) seperti dawet. Lalua ada dawet “plencing” dengan harapan ibu yang sedang hamil tua setelah minum dawet akan mudah melahirkan anak yang dikandungnya selicin dawet, begitu terasa mau procot eh sudah “plencing” keluar jabang bayi.

Sekali waktu di Wates-Kulonprogo lantaran melihat dawet dipikul. Istimewanya lagi Wates sebagai tanah tumpah darah dawet ngetop, bahan bakunya diambil dari umbi ganyong dan dikemas dalam kuali tanah berwarna kecoklatan. Penjualnya masih bergaya aseli pedesaan.

Bertopi caping bambu, busana surjan dengan bawahan celana pangsi hitam. Dari pesan semangkuk, klekep, semangkuk gleg akhirnya menjadi tiga mangkuk.

Dulu… waktu kecil saya dan ibu kerap kali ditinggal bapak sampai berbulan-bulan untuk operasi militer penumpasan DI/TII/NII dan para pembelot negara lainnya. Kadang kalau lagi “suntuk” ibu mengajak ke pasar “Kebon Pala” di Magelang sekedar minum dawet yang dijual di kedai "Dawt-Marem" milik orang Cina, biasanya pedagang kelompok ini menjaga mutu dan kebersihan. Kadang ditambahi semangkok bakso tahu plempung. Ini luar biasanya, bakso di Magelang dan Yogya selalu disertai gorengan tahu yang kembung “plempung” warna kecoklatan, rasanya gurih dan renyah-kemrenyah. Yang tidak ibunda sadari, layar bawah sadar saya sudah di "burn" data - dawet itu enak di eleg dan perlu!.

Bawah sadar saya seperti tergugah bila melihat penjual dawet lewat. Apalagi dawet sekarang sudah canggih, mulai buatan Bandung sampai dawet “ayu” dari Banjarnegara yang selalu disimbul tokoh wayang. Kapan dawet ayu Banjarnegara ini pakai simbol panakawan, tidak banyak yang ambil pusing. Mungkin dalam acara pagelaran wayang kulit, setelah acara petatah-petitih yang meletihkan, biasanya masuk hiburan “goro-goro” berupa humor ringan disampaikan para punakawan.

Ki Hajar Dewantara, selalu membandingkan visi kehidupan tukang dawet jualan sambil bernyanyi kecil dan berbahagia, katimbang perempuan kaya, naik mobil namun sambil dalam mobil.

Seorang teman bercerita masa kecilnya di alun-alun Ponorogo mengingat membeli dawet di bawah pohon beringin yang rindang. Di bawah naungan beringin para simbok penjual duduk bertumpu di dingklik (bangku) kecil sambil menjual manisan belimbing, cerme berwarna coklat, lalu buah kolang kaling yang ditusuki berwarna merah disepuh kesumba buatan.

Ada sagon kacang hijau, buah gayam rebus, kacang godok, dan pecel Ponorogo. Dan tak lupa dawet Ponorogo yang menurutnya "tak ada bandingannya sedunia." - betapa tidak cendol terbuat dari tepung beras RajaLele, santan dipilih dari kelapa yang tidak terlalu tua, tidak terlalu muda. Kuahnya terbuat dari gula putih dimasak beraroma pandan wangi. Disuguhkan dengan ditambah dengan tape ketan hitam dengan tabahan brongkol, yakni tepung beras di campur dengan air, gula sedikit dan garam, di bentuk bola-bola kecil, kemudian di masak di dandang jadilah brongkol.

Namun sejatinya "tumpah darah dawet" Ponorogo adalah desa bernama Jabung di sebelah selatan Ponorogo sekitar 3 km, kearah pesantren Gontor. Di perempatan Jabung ada beberapa angkring dawet yang berjajar. Centra dawet ini menjadi marak sebab ditunggui oleh para SPG yang cantik-cantik. Ada diversifikasi soal saus gula putih, yang di Jabung sudah diresufle dengan legen nira sebagai saus (juruh). Legen adalah hasil nderes (panen) bunga batang aren lalu airnya di tampung dalam wadah bumbung bambu, biasanya di panaskan sedikit supaya tidak cepat basi. Meleset semalam cerita legen menjadi "saguer," minuman tradisional di KwangKoan Manado yang memabukkan

Yang paling istimewa adalah para mbak Luna van Jabung juga menyediakan manisnya asmara. Disini uang hanyalah pelengkap, semua keputusan tergantung si mbak punya hak penuh untuk menentukan siapa diantara para kumbang yang menambat hatinya.

Para kumbang yang berminat MO (modus operandi) membeli dawet plus akan memperhatikan bagaimana dawet disajikan dalam mangkuk putih plus sendok cocor bebek diatas tatakan kecil. Cara penyajian langsung handover, tanpa baki atau nampan. Prosedur Operasi disini, "Tejo" hanya boleh mengambil mangkuknya. Tetapi, apabila "Tejo" mengambil mangkuk dan tatakannya maka mbak "Surti" akan sejenak menahan lepek tersebut sambil mengamati si kumbang, sekiranya cocok maka tatakan akan dilepas di tambah sekerling senyum selanjutnya terserah anda.

Kalau si mbak tidak tergoda, maka dengan halus akan meminta supaya kumbang melepas lepek dan anda terpaksa kembali ke Laptop di rumah.

Siapa bilang hanya Jakarta yang punya mbak Luna undercover ?.

Comments

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung