Geologist yang mengiris dunia
"Mengapa Pencuri Selalu Bawa Pisau yang tajam" -
jawabnya, kalau bawa lemari terlalu berat.
Masa kecil dulu saya punya mainan dua pisau yaitu "sangkur" untuk dipasang didepan senapan jenis LE, dan "bayonet" yang dipasang pada senapan jenis karabijn. Dua pisau ini bukan jenis pisau potong, hanya dipakai untuk alat tusuk. Beberapa sisa masa Jepang yaitu samurai. Diluar sepengetahuan ayah, saya dan teman-teman anak-anak kolong asrama Brimob sering berlatih "penting" yaitu lempar pisau dengan sasaran batang pisang. Sebetulnya hanya tiru-tiru "oom-oom Brimob" berlatih.
Lantaran pernah tinggal di Kertapati, Palembang, maka teradaptasi juga kebiasaan bawa "lading" alias pisau. Bagi "wong kito", pisau ibarat teman. Saya pikir ini juga mengadaptasi dari kebiasaan orang Jawa menyengkelit keris. Istilah kriminal "ditujah pake garpu 12 dim" - maksudnya ditikam dengan pisau cap Herder-Solingen 12 inci memang sering menghiasi surat kabar lokal. Memang logonya pada pisau terukir garpu (makan) kaki tiga dengan tulisan Herder. Kalau malam jumat, saya kadang memergoki beberapa rumah yang dihuni orang Palembang sedang membakar kemenyan untuk mengasapi "cap garpu."
Bentuk Herder-Solingen sekarang sudah mengalami perubahan seperti pisau dipakai para chef di resto besar untuk memotong daging-daging. Harganya juga sekitar US $300 per bilah.
***
Pindah sekolah ke Lampung, sebagian teman-teman membawa senjata semacam badik kecil yang mereka namakan "culik-ambau" atau taji-ayam - pisau tradisional dengan bilah berpamor ini sudah jarang ditemukan. Dari mulut para pesilat TTKKDH-Banten (ini artinya Tjimande Tua Kebon Djeruk Hilir) saya mendengar bahwa pisau tradisional (golok) yang ampuh itu adalah buatan Cibatu. Paku saja kalau disabet rompang (entah pakunya entah mata goloknya).
Pesilat Lampung sebagian besar berasal dari aliran Tjimande. Lalu kebiasaan ini harus dihilangkan kalau tidak mau berurusan dengan polisi. Dan bergantilah dengan kebiasaan "kadang" mengantungi pisau lipat ala Victorinox.
Bule-bule di rig pengeboran rata-rata menyisipkan pisau "buckknive" yang bajanya putih dan harganya diatas seratus buck. Sial bener.
Sampai situ saja cerita saya soal pisau. Lalu pisau saya yang lain adalah jenis Hunting Knive dengan baja impor bahan baja dari Hitachi Steel, dan yang sedang populer adalah ramuan 440C.
Semula pernah dicoba memanfaatkan besi per andong atau becak, namun mutu besi ini sekaliun tajam kalau sudah ditempa menghasilkan struktur yang pating brenjol alias tidak rata. Disamping bahannya mudah sekali tumpul dan berkarat.
Pisau lokal ini sudah memiliki banyak penggemar, pelanggannya rata-rata dari dunia yang dekat dengan kekerasan. Simak saja Curtiz Lavito ini soldadu Green Berret kondang. Lalu Prabowo Subiyanto, Soebagyo Hadisiswoyo, IGK Manila, Bambang Trihatmodjo, Yapto Suryosumaryo. Jadi Kopassus segala sudah menggunakan produknya. Ini sudah serius.
Cress, tajam sekalee!
Gambar di bawah, pisau lipat stainless steel 1968 dan senter Magna yang sudah menemani saya selama hampir 25 tahun.
"Kalau A adalah sukses dalam hidup maka A sama dengan x + y + z, dimana x adalah bekerja; y adalah bermain sedangkan z adalah tidak banyak bicara. Albert Einstein"
Comments