Jadi Tukang Cukur di Mesjidil Haram
Menunaikan ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilakukan oleh umat muslim. Dalam ibadah ini ada b eberapa ritus yang mesti dilakoni, salah satunya tahalul, yaitu ritual cukur rambut. Untuk itu saya telah berbekal sebuah gunting kecil dari Tanah Air.
Seperti ritus lainnya, ritus ini mesti dilakukan dengan khusyuk. Namun, bisakah anda membayangkan bila hal yang ritual tiba-tiba menjadi kejadian menggelikan seperti yang saya alami ?.
Ketika saya hendak memotong sebagian rambut, sedikit terjadi kebimbangan di hati. Pasalnya pemotongan dianjurkan pada rambut di kening. Padahal, rambut saya pada bagian ini sampai pusar (dalam bahasa Jawa disebut unyeng-unyeng) sudah tidak ada sejak lama. Untuk kasus seperti yang saya alami bisa disiasati dengan mengeroknya menggunakan silet. Namun saya memilih mencukur bagian samping.
Saya pejamkan mata sambil berdoa memohon ampun kepada Allah. Lalu cresss, rambut saya potong. Ketika mata terbuka, tiba-tiba beberapa jemaah dari berbagai negara berbaris didepan saya. Mereka menundukkan kepala meminta saya memotong rambut mereka. Sayapun melakukannya dengan senang hati. Ternyata, makin lama barisan makin panjang. Tangan sayapun semakin terasa pegal dan gunting makin berat digerakkan. Tak jelas berapa jemaah yang meminta pertolongan saya. Yang pasti, saya bisa membantu mereka sampai selesai. Saya tak menyangka bisa jadi tukang cukur dadakan Tanah Suci. (Artikel ini juga dimuat di Intisari, April 2000 Hal 63)
Seperti ritus lainnya, ritus ini mesti dilakukan dengan khusyuk. Namun, bisakah anda membayangkan bila hal yang ritual tiba-tiba menjadi kejadian menggelikan seperti yang saya alami ?.
Ketika saya hendak memotong sebagian rambut, sedikit terjadi kebimbangan di hati. Pasalnya pemotongan dianjurkan pada rambut di kening. Padahal, rambut saya pada bagian ini sampai pusar (dalam bahasa Jawa disebut unyeng-unyeng) sudah tidak ada sejak lama. Untuk kasus seperti yang saya alami bisa disiasati dengan mengeroknya menggunakan silet. Namun saya memilih mencukur bagian samping.
Saya pejamkan mata sambil berdoa memohon ampun kepada Allah. Lalu cresss, rambut saya potong. Ketika mata terbuka, tiba-tiba beberapa jemaah dari berbagai negara berbaris didepan saya. Mereka menundukkan kepala meminta saya memotong rambut mereka. Sayapun melakukannya dengan senang hati. Ternyata, makin lama barisan makin panjang. Tangan sayapun semakin terasa pegal dan gunting makin berat digerakkan. Tak jelas berapa jemaah yang meminta pertolongan saya. Yang pasti, saya bisa membantu mereka sampai selesai. Saya tak menyangka bisa jadi tukang cukur dadakan Tanah Suci. (Artikel ini juga dimuat di Intisari, April 2000 Hal 63)
Comments