Transaksi di Timika
Sekitar 1989 saya bertugas mengikuti operasi pengeboran sumur explorasi sumur taruhan South Oeta-1 di Timika Irian. Kebiasaan saya laporan pagi kegiatan pengeboran kepada pengawas (Company Man perusahaan AMOCO Indonesia) dari sisi anjungan mata saya melihat samudra lepas bebas. Sebuah pemandangan yang spektakuler melihat ikan cakalang? berenang dan melompat-lompat dalam jumlah yang banyak sekali.
Tapi pemandangan ini tidak berjalan lama sebab tidak lama kemudian akan muncul kapal berbendera asing (Thailand dll) mulai menebar jala seakan menggaruki semua isi laut dengan pukat harimaunya. Mayor W seorang Liason Officer cuma bisa memandang dari balik binokular dan mengatakan bahwa itu kapal asing. Di depan hidung kami ikan kita di angkut habis-habisan tanpa kita tidak bisa mencegahnya.
********
Setelah 14 hari bertugas di lepas pantai Irian, maka datang giliran untuk libur selama 14 hari didarat. Pagi-pagi chopper Airfast sudah datang mengangkut pekerja yang giliran shift sementara kami yang sudah menjalani giliran 2 minggu siap-siap untuk pulang dan bertemu keluarga. Ada dua orang pilot yang melayani penerbangan. Satu bernama John dan yang lainnya adalah Alex Mamesah yang badannya guede apalagi gelang emasnya.
Saya sering bergurau kalau kejatuhan gelang emas itu bisa "canthangen" kuku kaki kita. Perjalanan helikopter selama sekitar 1 jam dari lokasi pengeboran ke lapangan terbang Timika. Di bandara Timika yang kebanyakan digunakan oleh petugas Freport dari Australia inilah kami menunggu pesawat charter Pelita yang akan membawa kami ke luar Irian menuju Bandara Halim Perdana Kusuma.
Selama menunggu yang kadang cuma 3-4 jam inilah kami gunakan mencari sesuatu yang unik. Misalnya membeli souvenir patung buatan suku Asmat. Penjualnya umumnya orang "tidak keriting" dan dagangan cuma digeletakkan di tanah (makin kena tanah kan seperti makin tua dan antik). Harga disini adalah harga pas. Sebuah patung melukiskan ibu menyusui anaknya ditawarkan 20.000 perak, lalu iseng saya tawar 17500 - jawabannya seperti Akbar Tanjung menyanyikan Indonesia Pusaka, tanpa ekspresi. "Sampai MATI tidak boleh!"
Keruan saya sempat kaget mengapa urusan tawar patung kok penting-penting amat harus membawa kata-kata sampai MATI. Setelah mendapatkan beberapa patung, kami mulai memasuki rumah penduduk, salah satunya penangkap burung nuri. Seekor burung nuri yang cantik jelita diikat di halaman depan rumah.
Rupanya ini akal-akalan sang penjual agar nuri lain yang sedang terbang tinggi datang arisan apalagi kalau bukan melahap pakan yang tersedia.
Dan dengan mudah burung-burung ini ditangkap dan menggigit penangkapnya sambil menjerit-jerit, lalu dijual kepada kami. Waktu itu seekor burung antara 7500-10000 rupiah. Cukup murah, "disini hama para petani." kata penjual yang kali ini tidak pakai kata "sampai mati".
Semua berjalan lancar, sampai saya melihat beberapa Brimob disertai petugas JagaWana menutup pintu masuk dan keluar bandara lalu mulai menggeledah tas penumpang dengan alasan menyelundupkan burung yang dilindungi undang-undang.
Katanya (hanya) katanya para penjual nuri tadi melaporkan kepada petugas bahwa ada orang Indonesia yang berusaha menyelundupkan beberapa ekor Nuri kepala hitam. Cerdik juga. Dapat duit sekaligus jadi mata-mata Konservasi Alam.
Sialnya dua ekor burung (mustinya tiga tapi yang ini sara) masih berceloteh didalam tas kanvas sehingga saya didekati seorang Brimob yang magasin pelurunya sudah diikat solasi (isolasi listrik hitam) plus bantuan karet gelang. Mungkin Brimob ini merasakan bahwa saya masih nak sanak satu tangsi (barangkali), dia hanya meminta tas saya untuk diperiksa. Kali ini permintaannya saya tolak, sampai datang petugas JagaWana yang lebih muda. Saya berdalih hanya membawa seekor hama apalah artinya bila dibandingkan dengan seorang dokter Angkatan yang menyelundupkan Cendrawasih hidup dan mati.
Sebetulnya saya pingin bilang kenapa nggak digunakan cari Kelly Kwalik, daripada buang waktu ngudak-udak burung Nuri yang Terbang Tinggi. Tapi melihat suasanya tambah panas, ya mending mengeluarkan ilmu diam adalah tidak ngomong".
Sang jagawana rupanya kehabisan akal, dan keluarlah simpanan aselinya dia membuka bajunya, saya anak "*****" ayo kita berkelahi sampai mati. Lho ini dia modal anak bangsa, selalu kalau kalah akal muncul OKOL (otot), cap jempol darah sampai akhirnya fatwa "darahnya halal."
Saya ditarik masuk keruang pemeriksaan (saya pikir mau digebuki), ternyata anak suku pemberani ini cuma mau bilang "saya juga perlu promosi kalau bisa tangkep you punya burung, nama saya kan bagus."
"Keukeuh" saya belum mau memberikan burung saya (tapi 90% sudah pasrah jika keadaan memburuk).
Tapi tidak lama kemudian datang lagi mobil Toyota ber nopol polisi dan masuklah sang Komendannya. Orangnya tinggi simpatik, dia bilang "pesawat akan saya tahan penerbangannya sampai seluruh burung Nuri disita, atau anda saya tahan dengan tuduhan SUBVERSIF.
Mestinya ini bapak lulusan PTIK atau setidaknya Universitas untuk merangkai hubungan seekor nuri dengan subversif. Tapi kali ini saya pakai istilah ilmu anak administrasi (dulu pelajaran administrasi dianggap kelas papan bawah, tapi sekarang seorang kerabat baru ketemu tidak bilang hello tapi bilang Mimbar aku baru lulus dari Manajemen Ekonomi dst...). Nama ilmunya "Win Win Solution" - tapi orang Glodog yang jago bisnis menyederhanakan dengan Pedagang dan Pembeli sama-sama untung.
Seekor burung Nuri saya serahkan kepada Bhayangkari Bangsa dan satunya masih saya coba pertahankan.
Saya cari akal lain, saya lihat Ian Haworth teman satu crew dengan saya sudah mulai bernyanyi-nyanyi parau karena mabok bir. Saya bilang mana tasmu biar saya bawakan, tukar dengan tas kanvas saya karena didalamnya ada burung. Dan bule ini sekalipun mabok langung menggeser tasnya dan menukar dengan tas saya.
Dan sukseslah seekor Nuri Terbang Tinggi dari Timika ke Jakarta
Tapi pemandangan ini tidak berjalan lama sebab tidak lama kemudian akan muncul kapal berbendera asing (Thailand dll) mulai menebar jala seakan menggaruki semua isi laut dengan pukat harimaunya. Mayor W seorang Liason Officer cuma bisa memandang dari balik binokular dan mengatakan bahwa itu kapal asing. Di depan hidung kami ikan kita di angkut habis-habisan tanpa kita tidak bisa mencegahnya.
********
Setelah 14 hari bertugas di lepas pantai Irian, maka datang giliran untuk libur selama 14 hari didarat. Pagi-pagi chopper Airfast sudah datang mengangkut pekerja yang giliran shift sementara kami yang sudah menjalani giliran 2 minggu siap-siap untuk pulang dan bertemu keluarga. Ada dua orang pilot yang melayani penerbangan. Satu bernama John dan yang lainnya adalah Alex Mamesah yang badannya guede apalagi gelang emasnya.
Saya sering bergurau kalau kejatuhan gelang emas itu bisa "canthangen" kuku kaki kita. Perjalanan helikopter selama sekitar 1 jam dari lokasi pengeboran ke lapangan terbang Timika. Di bandara Timika yang kebanyakan digunakan oleh petugas Freport dari Australia inilah kami menunggu pesawat charter Pelita yang akan membawa kami ke luar Irian menuju Bandara Halim Perdana Kusuma.
Selama menunggu yang kadang cuma 3-4 jam inilah kami gunakan mencari sesuatu yang unik. Misalnya membeli souvenir patung buatan suku Asmat. Penjualnya umumnya orang "tidak keriting" dan dagangan cuma digeletakkan di tanah (makin kena tanah kan seperti makin tua dan antik). Harga disini adalah harga pas. Sebuah patung melukiskan ibu menyusui anaknya ditawarkan 20.000 perak, lalu iseng saya tawar 17500 - jawabannya seperti Akbar Tanjung menyanyikan Indonesia Pusaka, tanpa ekspresi. "Sampai MATI tidak boleh!"
Keruan saya sempat kaget mengapa urusan tawar patung kok penting-penting amat harus membawa kata-kata sampai MATI. Setelah mendapatkan beberapa patung, kami mulai memasuki rumah penduduk, salah satunya penangkap burung nuri. Seekor burung nuri yang cantik jelita diikat di halaman depan rumah.
Rupanya ini akal-akalan sang penjual agar nuri lain yang sedang terbang tinggi datang arisan apalagi kalau bukan melahap pakan yang tersedia.
Dan dengan mudah burung-burung ini ditangkap dan menggigit penangkapnya sambil menjerit-jerit, lalu dijual kepada kami. Waktu itu seekor burung antara 7500-10000 rupiah. Cukup murah, "disini hama para petani." kata penjual yang kali ini tidak pakai kata "sampai mati".
Semua berjalan lancar, sampai saya melihat beberapa Brimob disertai petugas JagaWana menutup pintu masuk dan keluar bandara lalu mulai menggeledah tas penumpang dengan alasan menyelundupkan burung yang dilindungi undang-undang.
Katanya (hanya) katanya para penjual nuri tadi melaporkan kepada petugas bahwa ada orang Indonesia yang berusaha menyelundupkan beberapa ekor Nuri kepala hitam. Cerdik juga. Dapat duit sekaligus jadi mata-mata Konservasi Alam.
Sialnya dua ekor burung (mustinya tiga tapi yang ini sara) masih berceloteh didalam tas kanvas sehingga saya didekati seorang Brimob yang magasin pelurunya sudah diikat solasi (isolasi listrik hitam) plus bantuan karet gelang. Mungkin Brimob ini merasakan bahwa saya masih nak sanak satu tangsi (barangkali), dia hanya meminta tas saya untuk diperiksa. Kali ini permintaannya saya tolak, sampai datang petugas JagaWana yang lebih muda. Saya berdalih hanya membawa seekor hama apalah artinya bila dibandingkan dengan seorang dokter Angkatan yang menyelundupkan Cendrawasih hidup dan mati.
Sebetulnya saya pingin bilang kenapa nggak digunakan cari Kelly Kwalik, daripada buang waktu ngudak-udak burung Nuri yang Terbang Tinggi. Tapi melihat suasanya tambah panas, ya mending mengeluarkan ilmu diam adalah tidak ngomong".
Sang jagawana rupanya kehabisan akal, dan keluarlah simpanan aselinya dia membuka bajunya, saya anak "*****" ayo kita berkelahi sampai mati. Lho ini dia modal anak bangsa, selalu kalau kalah akal muncul OKOL (otot), cap jempol darah sampai akhirnya fatwa "darahnya halal."
Saya ditarik masuk keruang pemeriksaan (saya pikir mau digebuki), ternyata anak suku pemberani ini cuma mau bilang "saya juga perlu promosi kalau bisa tangkep you punya burung, nama saya kan bagus."
"Keukeuh" saya belum mau memberikan burung saya (tapi 90% sudah pasrah jika keadaan memburuk).
Tapi tidak lama kemudian datang lagi mobil Toyota ber nopol polisi dan masuklah sang Komendannya. Orangnya tinggi simpatik, dia bilang "pesawat akan saya tahan penerbangannya sampai seluruh burung Nuri disita, atau anda saya tahan dengan tuduhan SUBVERSIF.
Mestinya ini bapak lulusan PTIK atau setidaknya Universitas untuk merangkai hubungan seekor nuri dengan subversif. Tapi kali ini saya pakai istilah ilmu anak administrasi (dulu pelajaran administrasi dianggap kelas papan bawah, tapi sekarang seorang kerabat baru ketemu tidak bilang hello tapi bilang Mimbar aku baru lulus dari Manajemen Ekonomi dst...). Nama ilmunya "Win Win Solution" - tapi orang Glodog yang jago bisnis menyederhanakan dengan Pedagang dan Pembeli sama-sama untung.
Seekor burung Nuri saya serahkan kepada Bhayangkari Bangsa dan satunya masih saya coba pertahankan.
Saya cari akal lain, saya lihat Ian Haworth teman satu crew dengan saya sudah mulai bernyanyi-nyanyi parau karena mabok bir. Saya bilang mana tasmu biar saya bawakan, tukar dengan tas kanvas saya karena didalamnya ada burung. Dan bule ini sekalipun mabok langung menggeser tasnya dan menukar dengan tas saya.
Dan sukseslah seekor Nuri Terbang Tinggi dari Timika ke Jakarta
Comments