14 Mei 1998

Sehari sebelum kejadian kerusuhan 13-14 Mei 1998 terjadi, seusai jam kantor saya langsung kerumah sambil tidak lupa mendengarkan radio Sonora. Karena lokasi rumah di Grogol, saya selalu meliwati kampus Trisakti. Kampus Trisakti memang menjadi pusat demo besar-besaran antara mahasiswa dengan pemerintah.

Jalanan sangat macet karena badan jalan tol maupun layang sudah dipasangi penghalang berupa kawat berduri. Sudah bingung membedakan para aparat sebab rata-rata ditutupi oleh pakaian anti huru-hara. Saya juga melihat provost dan CPM karena helm dan bajunya yang khas. Pasukan Anti Huru Hara yang waktu itu belum menggunakan selimut ala jango. Orang banyak berkumpul namun hanya berbisik-bisik. Suasana sangat hening. Waktunya sekitar jam 17:20-an. Sampai di rumah saya baru tahu bahwa terjadi penembakan di kampus Trisakti.

Rumor diluar sudah berkembang, bahkan pengemudi Bajaj memberikan informasi bahwa besok pagi akan diadakan demo besar-besaran. Namanya info radio dengkul, bisa betul bisa tidak.

Besok pagi-pagi sekali saya harus ke airport untuk menuju Pekanbaru. Kali ini saya tidak mau ambil resiko, masih dinihari saya sudah ke Airport.

Malamnya di Pekanbaru-Riau, di Hotel, TV menayangkan pelbagai kejadian kerusuhan di ibukota. Semalaman saya coba tilpun keluarga di Jakarta, kali ini saya seperti dinegara terpencil, sambungan tilpun biasa maupun handphone mendadak lumpuh.
Rupa-rupanya terjadi ledakan pengguna tilpun pada saat yang hampir bersamaan sehingga jaringan komunikasi terganggu.

Tengah malam saya berhasil menghubungi keluarga, mereka semua dalam keadaan ketakutan.

Saya katakan kepada keluarga bahwa urusan di Pekanbaru sudah selesai.

Besok pagi sudah kembali lagi. Keesokan harinya, saat check put, saya kaget setengah mati sebab email telkomnet yang tidak pernah berhasil mendownload satu potong emailpun menarik tagihan mendekati setengah juta ? - baru sadar bawa seringnya sambungan terputus berarti ada biaya connection baru lagi..

Bandara Pekanbaru nampak lengang, pesawat dari Jakarta banyak yang di batalkan (apakah pembatalan ini secara bersamaan ?) beberapa penumpang yang akan ke Jakarta, beberapa diantaranya nampak sekali muka cemas - terutama teman-teman yang keturunan. Sebab kerusuhan apapun, mereka selalu menjadi target.

Selama di ruang tunggu, layar TV selalu berwarna merah akibati kobaran api. SCTV terutama sekali sangat kentara meliput berita ini dengan kemampuan penyiarnya mendramatisasikan tayangannya. Bahkan, mental yang terbiasa "menjaga kestabilan nasional", agak kaget juga melihat penayangannya. "Lho kok berani sekali". Sebab selama ini berita baik saja yang muncul di TV.

Langsung kopor yang sudah berat karena berisikan Laptop saya isi dengan beberapa botol air kemasan, dodol Riau, biskuit, sebagai tindakan seandainya tidak bisa segera pulang kerumah.

Beratnya saya perkirakan sekitar 20 kiloan.

Kali ini pesawat Merpati Foker 27 yang biasanya penuh sesak sekarang hanya memuat sekitar 14 Penumpang termasuk saya. Pramugara juga berbisik-bisik dengan penumpang bahwa banyak mobil tertahan di Bandara. Makin seru pembicaraan karena bumbu penyedap gossip dan (kadang) spekulasi semakin banyak ditambahkan seperti kata-kata perkosaan, lari keluar negeri dsb.

Ketika memasuki wilayah Jakarta, entah karena menunggu ijin mendarat, atau karena ingin memberikan pelayanan tambahan, pilot memutarkan pesawatnya berkali-kali di sekitar Jakarta. Langsung saya bergidik Jakarta menjadi lautan api, astaga bisik saya dalam hati. Api mengepung seantero jakarta secara bersamaan. Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat serempak menjadi lautan api. Dari kejauhan hanya bubungan asap hitam menebal keudara.

Dari udara, massa yang keluar rumah nampak memenuhi jalanan dan tanah lapang. sekali lagi saya meyakinkan bahwa barang kabin saya masih terisi air dan bahan makanan.

Tiba di Bandara Cengkareng, seperti layaknya suasana saat Lebaran, mobil yang lalu lalang sepi, taxi sepi, pengunjungpun sepi. Tidak mungkin mengharapkan jemputan dari keluarga. Semua jalan sudah di blokade oleh para pemuda.

Sekitar jam 15.00 ada sebuah bus Damri Cengkareng-Blok M yang melakukan tindakan nekad, caranya dengan konvoi menuju Blok M. Masih didalam kawasan Bandara, puluhan truk, sedan, mobil mewah diparkir sepanjang jalan tol. Rupanya mereka menunggu kerusuhan reda.

Pintu Tol sudah ditutup secara paksa dalam keadaan sudah dirusak massa. Pot-pot besar di gulingkan sebagai barikade jalan. Beberapa anak-anak seusia 15-20 tahun mulai beraksi setiap 200 meter membuka Pintu Tol tambahan. Tangan kanan mengacungkan Ibu Jari, tangan kiri memegang batu kali. Bahasa tubuh ini saya terjemahkan sebagai kita menang, tiran jatuh, mari membangun negeri. Jawaban salah. Jawaban yang betul adalah: "Seceng dulu"

Pengemudi bis tak kalah gertak, ia nekad menerobos kepungan mereka, maka melayanglah batu kali ke kaca dan bodi mobil. Rasanya seperti seperti dimasukkan kedalam kaleng kerupuk, lalu dari luar ada yang memukuli tubuh kaleng pakai penggada. Karena Tol Grogol ditutup, maka di cari jalan alternatip masuk jurusan Tol Priok. Melalui jalanan inipun bis rasanya seperti kura-kura balapan karung. Di sepanjang jalan tol banyak mobil sudah dihancurkan, beberapa pengemudi selain dirampok hartanya juga dipukuli sampai terkapar dijalan raya. Tanpa pandang mata, semua digasak.

Kernet bis mulai kebingungan, uang setoran sudah ludes untuk massa beringas ini, akhirnya dilakukan urunan kecil-kecilan dari para penumpang.

Seorang penumpang berkulit gelap mirip Shahruk Khan, apalagi ia pakai pakai hem jin biru lengan pendek ala jagoan India, memiliki nyali bernegosiasi dengan perusuh. Jawabannya adalah grudukan batu. Akhirnya dia masuk menyelamatkan kepala.

Sampai di Cawang, tepat di bawah Patung Dirgantara, saya lihat kaca mobil sudah habis total. Nyali saya juga ikut habis. Saya memutuskan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke kawasan Grogol.

Ya akhirnya saya putuskan untuk meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki sebab Ojek-ojek sudah merasa tidak mampu menerobos barisan gerombolan orang yang marah. Kepala saya memang mendekati plontos, akibatnya mudah sekali berkeringat ditambah berat badan yang overweight. Maka membawa 20 kilogram kopor plus laptop menjadikan siksaan tersendiri.

Diperjalanan "botak" ini kadang menjadi olok-olokan massa. Tentunya hanya satu dua yang demikian. Tentunya tidak perlu dilayani. Lalu ada beberapa penumpang wanita nampak ketakutan sehingga saya memberanikan diri untuk bergabung "pura-pura" rombongan.

Saya ingat, hampir tidak ada mobil yang lalu lalang. Yang saya liat sibuk hanyalah sebuah mobil putih dari Corps Diplomatik dengan bule membawa seperangkat alat potret didalamnya. Entah mengapa mobil ini lolos dari sergapan masa. Apa karena bule maka dia bebas ?

Juga melihat Chandra Darusman terburu-buru pulang sambil membuka kaca sedannya lebar-lebar. Mungkin sebagai public figure, akan bebas dari gangguan.

Dari kejauhan saya mendengarkan yel-yel "Gantung Suharto," makin lama makin mendekat. Rupanya sebuah truk kapasitas 6 ton, sebagaimana lazimnya truk pengangkut pasir melalui jalan dan "halang rintang" dengan aman. Penumpangnya tak putus-putus berteriak. Di beberapa tempat truk ini berhenti untuk mengangkut satu atau 2 orang lantas berjalan lagi dan dibeberapa tempat mengangkut orang lagi sampai akhirnya menghilang. Truk ini aman dari timpukan massa. Kalau dilihat penumpangnya rata-rata usia 30-an ada sudah dewasa, penampilannya bukan penampilan militer.

Militer umumnya berbadan tegap dan hampir seragam otot-ototnya. Yang penumpang truk sepertinya mau naik truk saja kesulitan menggerakkan tubuhnya. Saya melihat ada 2 truk yang serupa, tetapi boro-boro mau memotret atau mencatat nomor platnya. Nyali sudah ciut untuk berbuat yang aneh-aneh.

Dekat Komdak, saya berhenti sebentar, membuka bekal menghilangkan haus dan ketakutan. Saya dekati seorang pengojek. Mula-mula dia menolak, tetapi setelah diberi tahukan rencana perjalanan, dia bersedia dengan biaya Rp. 50.000.

Kami mengambil jalan pintas. Melalui Komdak, saya lihat para aparat berbaret Biru Kehitaman sampai yang berbaret Merah Ati Ayam, sedang mengaso sambil menonton jalannya penjarahan dan pembakaran seperti anggota wisatawan kecapekan turun dari Candi Borobudur.

Ojek tertahan di pintu Senayan. Aparat berbaju loreng berbaret Hijau dengan pentungan ditangan mengusir kami agar tidak memasuki komplek Senayan.

Kami memutar lagi. Menyusuri jalan-jalan kecil, kendaraan sering terhenti akibat bertemu massa yang sedang menjarah toko. Di Hero Gatot Subroto, penjarah yang nampaknya mengambil CD menjualnya ditempat itu juga. Toko Ban yang di rampok, ban nya di jual ditempat itu juga. Aksi mereka persis petani panen bayam dari lahannya sendiri, lalu datang calon pembeli hendak membeli bayamnya.

Pengojek saya malahan berhenti ikutan menawar untuk pengganti ban motornya.

Akhirnya sampai jugadi pasar Grogol. Ajaib, sekalipun Tomang Plaza habis terbakar, pasar ini utuh, ternyata para pemuka masyarakat menghimbau preman dan warga bahwa kalau pasar ini sampai ter atau dibakar, maka kita akan kehilangan mata pencarian entah sampai berapa lama.

Tahu dong kinerja Pemerintah kalau soal membangun fasilitas publik amat teramat lelet. Himbauan ini berhasil, pihak keamanan pasar berhasil menghalau anasir yang memprovokasi membakar pasar tradisional Grogol.

Lalu terbayang seorang teman dari Australia David Cook pernah bilang beberapa bulan sebelum kejadian Mei 1998, saat dollar memembus 15 ribu rupiah ia berujar, "taruhan, sebentar lagi akan ada penjarahan besar-besaran di Jakarta..." - yang menjengkelkan ia memeragakan telapak tangan kiri menghadap ke atas setinggi pinggang, sementara telapak kanan nya diangkat tinggi setinggi alis menirukan gerakan kapal mendarat darurat diatas telapak kirinya.

"Dasar bule sok tau," kata saya. Sayang ramalannya betul. Sama seperti yang diramalkan oleh detektip dan intel Australianya.

Comments

Anonymous said…
This comment has been removed by a blog administrator.
Anonymous said…
Pak Mimbar, saya jadi bernostalgia atas peristiwa tsb. Beruntung sekali saya & keluarga tidak jadi korban. Yang berkesan bagi saya, saat itu saya sedang menjadi pengurus sebuah apartemen di daerah Mampang. Daerah yang kena rusuh juga. Pada hari kejadian saya sempat pulang lewat jalan belakang (Kemang & sekitarnya) dgn diantar mobil operational (sdh tdk berani setir sendiri). Esok hr-nya saya ngotot pergi kerja, walaupun org rmh sdh melarang, tp saya teringat dgn tenant2 yg semua warga negara asing. Akhirnya, mobil operational kembali menjemput saya. Dasar penasaran, saya minta supir untuk lewat mampang, saya melihat sisa2 kejadian, itu saja sdh mengerikan untuk saya.
Sesampai di apartemen mulailah kepanikan kami, manajemen, mencari dimana para penghuni yg tdk pulang keapartemen mlm itu. Akhirnya kami hrs mencari satu persatu. Mulai dr prsh-annya. Ada perusahaan yg baik, yg lgs memberitahu kpd kami bahwa si-expatriate telah diungsikan. Sampai jln terakhir ke-kedutaan-nya.
Yg paling sulit, pd wkt itu ada sebuah keluarga yg baru datang dr Inggris. Mereka memiliki seorang bayi & kehabisan makanan bayi. Rasanya sangat tdk mungkin mencari makanan bayi instant saat itu. Walaupun akhirnya para ibu2 mencarikan jln keluar dgn membuat mkn-an sendiri, ttp keluarga tsb sdh terlanjur trauma, shg tdk percaya dgn negara ini. Termasuk kami...sedih rasanya.
Tetapi ada pula tenant 'bandel', tenant yg terbiasa hidup dinegara perang, buat mereka ini belum apa2, shg larangan keluar dr apartemen yg kami berlakukan tdk digubris. Alhasil para satpam hrs lbh hati2 meng-absen mrk.
Syukurlah akhirnya tidak ada korban baik penghuni maupun manajemen & staff apartemen. Pengalaman berharga untuk kami, bagaimana mengatasi situasi darurat seperti itu...seperti biasa, tdk pernah ada standart sebelumnya...jadi, memang org Indonesia, hrs kreatif :)
Anonymous said…
Jadi ingat, waktu itu kantor dekat slipi jaya, ikut lihat juga pembakaran mall dan penjarahannya, sempat terkena gas air mata dan sempat lihat anak-anak main bola di jalan tol atau aksi penghancuran mobil timor, ngeri pokoknya, kok ada yaa manusia sesadis, dan berperilaku barbar?, beruntung teman-teman di kantor tidak ada yang jadi korban. Sekitar jam sembilan malam rencana mau langsung pulang ke Bandung, diantar sama teman (pakai 2 sepeda motor) ke Rambutan, ternyata semua jalan sudah diblokir, dan aksi penjarahan dan pembakaran ada dimana-mana benar-benar sangat mencekam, kalau ada yang menghentikan kami berempat sudah nggak peduli lagi tancap gas,yang penting cari selamat, akhirnya kami nginep di rumah teman di Pondok Gede yang saat itu agak aman. Keesokan harinya ternyata kendaraan umum benar-benar tidak ada, untung ada Ambulan yang akan ke Bogor, akhirnya ke Bogor dulu kemudian naik kereta ke Gambir baru disambung ke Bandung. Kalau inget ngeriiii.
Anonymous said…
Wah saya juga tidak akan lupa saat itu. Waktu itu saya masih SMA, kemudian dipulangkan sebelum jam sekolah berakhir. Saya bersama teman-teman saya tidak bisa mendapatkan Kopaja yang biasa kami gunakan untuk kendaraan pulang. Ternyata memang tidak ada yang narik. Beruntung ada Metro Mini yang tidak biasanya lewat depan sekolah saya, kemudian lewat dan tujuannya lewat daerah rumah saya.

Langsung saja bersama teman-teman naik Metro Mini tersebut. Sampai di jalan antara Casablanca dan Kp Melayu banyak sekali orang, saya dan teman-teman sudah sangat takut saat itu. Apalagi teman saya agak mirip orang keturunan. Begitu masuk ke dalam gang menuju rumah pun suasana tampak sangat mencekam, banyak orang berkumpul, entah bersiap untuk apa. Seperti orang-orang yang siap untuk lomba lari dan masih berada di belakang garis start. Saya langsung kabur saja ke rumah. Syereeemmm...

Popular posts from this blog

Polisi Ubah Pangkat

Daftar Pemain Nagasasra dan Sabukinten

Menu Makanan Kantin di Rig Terapung